Kamis, 25 Februari 2016

Dog Vs Duck



Sudah beberapa kali saya bersama salah satu guru Bahasa Inggris mendatangi sebuah warung makan dekat sekolah ketika jam istirahat tiba.  Beliau yang pertama kali memperkenalkan warung makan tersebut, katannya selain hargannya yang  terjangkau, juga jenis masakannya sedap-sedap tidak masam-masam. Banyak juga pelanggan yang datang. Tadi siang saat jam istirahat kami makan siang yang sudah kesekian kalinya di kedai tersebut. 


Seperti biasa, kami diambilkan nasi lalu diminta untuk memilih masakan mana yang dipilih. Sementara saya menunjuk beberapa menu masakan, si penjual akan mengambilkannya. Begitu juga dengan teman saya. 

Sedikit perbincangan terjadi antara si penjual dengan teman saya ketika sedang pilih-pilih masakan yang ada, sepertinya mereka sedang memperbincangkan tentang salah satu menu masakan yang akan dipilihnya. Saya juga tidak tahu persis mereka berbicara tentang apa, yang jelas teman saya ketika ngobrol sambil menunjuk masakan yang dimaksud tersebut.


 Setelah teman saya bertanya tentang menu masakan kepada penjual (tentu dengan Bahasa Siam), beliau memberi tahu saya tentang apa yang telah mereka bicarakan (pakai Bahasa Inggris yang cukup mempermudah komunikasi diantara kami, karena beliau juga tidak bisa bicara Bahasa Melayu). “It’s not chicken but Dog”. Ada sesuatu yang membuat saya terkejut, ternyata ada salah satu masakan disini yang mengandung “Dog”. Memang semula saya mengira itu adalah masakan ayam, karena di dalamnya ada layaknya potongan daging ayam, siapa menyangka bahwa itu ternyata potongan daging “Dog”. Kok bisa menyediakan menu “Dog” ya? Padahal kan jelas-jelas penjualnya pakai kerudung, artinya ia muslim dan tahu kalau “Dog” itu haram apalagi kalau dimasak. Kenapa juga teman saya itu begitu dengan santainya ketika memberi tahu saya kalau masakan itu mengandung “Dog”…tak ada ekspresi terkejut atau bagaimana. Semua biasa saja...


Langsung bawa makan siang kami ke tempat duduk, lalu melahapnya. Ha ha ha…saya tidak jijik meskipun telah tahu di warung ini ada masakan berbau “Dog”, karena lagi lapar.


Sambil melahap makanan, tetap saja saya mikir, kenapa bisa jual masakan “Dog”?, seperti itukah “Dog” jika dimasak, potongannya sama persis seperti daging ayam? meskipun diletakkan di tempat terpisah dengan makanan yang lain, kan saya tidak tahu juga waktu memasaknya? Waduh, waduh , waduh, gawat sekali kan ….. Tapi kenapa banyak juga yang beli makan disini, biarpun mereka muslim sekalipun jika tahu bahwa warung ini ada masakan “Dog” nya ?!@##$$%%^$$ ?????? Dalam benak saya juga sempat menerka-nerka yang tak tahu pastinya …..karena yang tinggal di tempat ini juga banyak sekali yang non-muslim, jadi mungkin masakan itu disediakan untuk mereka yang cukup gemar masakan ini.


Ketika selesai makan, teman saya membahas lagi tentang masakan “Dog” tadi. Siapa sangka kalau beliau ternyata juga sering makan masakan “Dog” dan katanya rasannya sangat lezat. Sambil melongo …. saya berusaha untuk menanyakan kembali kebenaran dari pertanyaan yang baru saja beliau ucapakan. Seorang beliau pernah makan masakan “Dog”???? Apa????? Wajar kan jika saya terkejut? Apa yang telah saya rasakan, terkejut dan bertanya-tanya, baru saja diketahui oleh beliau setelah saya menanggapi pertanyaan yang baru saja dikatakan. 


Karena beliau merasa ada sesuatu yang tidak beres tentang yang barusan dikatan, akhirnya beliau lontarkan sebuah pertanyaan kepada saya yang membuat saya tersadar akan kekhilafan saya. “How do you call D...*? Lalu saya menanggapi pertanyaan beliau. Belum sempat saya ucapkan apa yang telah saya pikirkan tentang pengucapan “Dog”, saya tersadar bahwa maksud beliau telah salah saya tanggapi. Ternyata bukan “Dog” melainkan “Duck”, Padahal beliau juga telah melafalkan “Duck” bukan “Dog. Astaghfirullahal’adhiim … kenapa saya tidak berpikir kesitu, yang ada dalam benak saya, hanya “Dog”, “Dog”, dan “Dog” (Mungkin karena saya lebih familiar dengan Bebek goreng ya, he he). Pantas saja rasannya sangat lezat dan bentuknya seperti potongan ayam. Sayapun menceritakan kepada beliau apa yang waktu itu saya pikirkan? saya telah berpikir aneh-aneh, hanya karena “Dog” Vs “Duck”. Ketawa kami terlepaskan saat itu juga …. berasa lucu.


Karena Bahasa Inggris sebagai L2, bukan bahasa Ibu, sehingga wajar saja jika ada kesalahan kecil yang tak terduga terjadi karena dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa tidak . Seperti halnya perbedaan pelafalan yang hampir sama antara “Dog” dan “Duck”, yang sempat membuat saya jumboh. Langsung saja saya buka kamus Bahasa Inggris saya untuk mengetahui dengan pasti pelafalan dari kedua kata itu. “Dog” dibaca /dɒg/, sementara “Duck”  dibaca /dʌk/. Dari transkrip pelafalan yang telah saya dapat dari kamus itu, saya bisa ambil kesimpulan bahwa, pada kata “Dog” ternyata “O” tidak dibaca kuat dengan symbol yang biasa dipakai /ɒ/, tapi sedikit condong kearah suara “A” dan “O” seperti halnya kata “God”. “Duck” memakai bunyi “A” kuat /ʌ/, dengan akhiran “K” yang makharijul hurufnya sangat berdekatan dengan bunyi “G”. Ha ha ha, kok jadi seperti nulis tugas kuliah padahal kan saya sebenarnya mau bercerita lucu. 

Setelah saya buat cerita dalam bentuk tulisan sepertinya tidak lagi lucu seperti waktu itu, jadi wajar jika membaca cerita lucu saya tidak ketawa. Ketawain sendiri saja....whahahahahaha  ^__^
 

Thailand, 25.02.2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...