Sudah
beberapa kali saya bersama salah satu guru Bahasa Inggris mendatangi sebuah warung
makan dekat sekolah ketika jam istirahat tiba. Beliau yang pertama kali memperkenalkan warung
makan tersebut, katannya selain hargannya yang
terjangkau, juga jenis masakannya sedap-sedap tidak masam-masam. Banyak
juga pelanggan yang datang. Tadi siang saat jam istirahat kami makan siang yang
sudah kesekian kalinya di kedai tersebut.
Seperti
biasa, kami diambilkan nasi lalu diminta untuk memilih masakan mana yang
dipilih. Sementara saya menunjuk beberapa menu masakan, si penjual akan
mengambilkannya. Begitu juga dengan teman saya.
Sedikit perbincangan terjadi
antara si penjual dengan teman saya ketika sedang pilih-pilih masakan yang ada,
sepertinya mereka sedang memperbincangkan tentang salah satu menu masakan yang
akan dipilihnya. Saya juga tidak tahu persis mereka berbicara tentang apa, yang
jelas teman saya ketika ngobrol sambil menunjuk masakan yang dimaksud tersebut.
Setelah teman saya bertanya tentang menu
masakan kepada penjual (tentu dengan Bahasa Siam), beliau memberi tahu saya
tentang apa yang telah mereka bicarakan (pakai Bahasa Inggris yang cukup
mempermudah komunikasi diantara kami, karena beliau juga tidak bisa bicara
Bahasa Melayu). “It’s not chicken but Dog”.
Ada sesuatu yang membuat saya terkejut, ternyata ada salah satu masakan disini
yang mengandung “Dog”. Memang semula
saya mengira itu adalah masakan ayam, karena di dalamnya ada layaknya potongan daging
ayam, siapa menyangka bahwa itu ternyata potongan daging “Dog”. Kok bisa menyediakan
menu “Dog” ya? Padahal kan jelas-jelas penjualnya pakai kerudung, artinya ia
muslim dan tahu kalau “Dog” itu haram apalagi kalau dimasak. Kenapa juga
teman saya itu begitu dengan santainya ketika memberi tahu saya kalau masakan
itu mengandung “Dog”…tak ada ekspresi terkejut atau bagaimana. Semua biasa saja...
Langsung
bawa makan siang kami ke tempat duduk, lalu melahapnya. Ha ha ha…saya tidak
jijik meskipun telah tahu di warung ini ada masakan berbau “Dog”, karena lagi
lapar.
Sambil melahap
makanan, tetap saja saya mikir, kenapa bisa jual masakan “Dog”?, seperti itukah
“Dog” jika dimasak, potongannya sama persis seperti daging ayam? meskipun diletakkan di tempat terpisah dengan makanan yang lain, kan saya tidak tahu juga waktu memasaknya? Waduh, waduh , waduh, gawat sekali kan ….. Tapi kenapa banyak juga
yang beli makan disini, biarpun mereka muslim sekalipun jika tahu bahwa warung
ini ada masakan “Dog” nya ?!@##$$%%^$$ ?????? Dalam benak saya juga sempat
menerka-nerka yang tak tahu pastinya …..karena yang tinggal di tempat ini juga
banyak sekali yang non-muslim, jadi mungkin masakan itu disediakan untuk mereka
yang cukup gemar masakan ini.
Ketika
selesai makan, teman saya membahas lagi tentang masakan “Dog” tadi. Siapa
sangka kalau beliau ternyata juga sering makan masakan “Dog” dan katanya
rasannya sangat lezat. Sambil melongo …. saya berusaha untuk menanyakan kembali
kebenaran dari pertanyaan yang baru saja beliau ucapakan. Seorang beliau pernah
makan masakan “Dog”???? Apa????? Wajar kan jika saya terkejut? Apa yang telah
saya rasakan, terkejut dan bertanya-tanya, baru saja diketahui oleh beliau
setelah saya menanggapi pertanyaan yang baru saja dikatakan.
Karena
beliau merasa ada sesuatu yang tidak beres tentang yang barusan dikatan,
akhirnya beliau lontarkan sebuah pertanyaan kepada saya yang membuat saya
tersadar akan kekhilafan saya. “How do you call D...*? Lalu saya menanggapi
pertanyaan beliau. Belum sempat saya ucapkan apa yang telah saya pikirkan
tentang pengucapan “Dog”, saya tersadar bahwa maksud beliau telah salah saya
tanggapi. Ternyata bukan “Dog” melainkan “Duck”, Padahal beliau juga telah
melafalkan “Duck” bukan “Dog”. Astaghfirullahal’adhiim … kenapa saya tidak
berpikir kesitu, yang ada dalam benak saya, hanya “Dog”, “Dog”, dan “Dog” (Mungkin karena saya lebih familiar dengan Bebek goreng ya, he he). Pantas
saja rasannya sangat lezat dan bentuknya seperti potongan ayam. Sayapun menceritakan kepada beliau apa yang waktu
itu saya pikirkan? saya telah berpikir aneh-aneh, hanya karena “Dog” Vs “Duck”.
Ketawa kami terlepaskan saat itu juga …. berasa lucu.
Karena
Bahasa Inggris sebagai L2, bukan
bahasa Ibu, sehingga wajar saja jika ada kesalahan kecil yang tak terduga
terjadi karena dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa tidak . Seperti halnya perbedaan pelafalan yang hampir sama antara “Dog” dan “Duck”,
yang sempat membuat saya jumboh.
Langsung saja saya buka kamus Bahasa Inggris saya untuk mengetahui dengan pasti
pelafalan dari kedua kata itu. “Dog” dibaca /dɒg/, sementara “Duck” dibaca /dʌk/. Dari transkrip pelafalan yang telah
saya dapat dari kamus itu, saya bisa ambil kesimpulan bahwa, pada kata “Dog”
ternyata “O” tidak dibaca kuat dengan symbol yang biasa dipakai /ɒ/, tapi
sedikit condong kearah suara “A” dan “O” seperti halnya kata “God”. “Duck” memakai
bunyi “A” kuat /ʌ/, dengan akhiran “K” yang makharijul hurufnya sangat
berdekatan dengan bunyi “G”. Ha ha ha,
kok jadi seperti nulis tugas kuliah padahal kan saya sebenarnya mau bercerita
lucu.
Setelah
saya buat cerita dalam bentuk tulisan sepertinya tidak lagi lucu seperti
waktu itu, jadi wajar jika membaca cerita lucu saya tidak ketawa. Ketawain sendiri saja....whahahahahaha ^__^
Thailand,
25.02.2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar