Selasa, 28 Februari 2017

NASEHAT SIMBAH



Hingga kini aku masih suka mendengarkan nasehat kakek dan nenekku. Apalagi kalau nasehat yang mereka sampaikan diliput dari sederetan cerita masa lalunya, aku suka mendengarkannya. Meskipun kadang akal ini tidak bisa menjangkau, karena masa lalu mereka memang sangat berbeda dengan jalan kehidupan yang kujalani sekarang ini. Namun, memang itulah kenyataan yang ada. Apa yang mereka ceritakan bukanlah cerita fiksi yang penuh dengan dunia fantasi.

Kakek dan nenekku sering mengaitkan sesuatu yang kulakukan dengan apa yang pernah mereka jalani dulu. Contoh kecilnya misalnya, mereka melihatku menyisakan nasi di piring. Seketika itu juga pasti akan ada flashback cerita masa lalunya yang mengisahkan bagaimana sulitnya bisa mendapatkan sesuap nasi kala itu. Begitu juga ketika aku melakukan hal-hal yang sekirannya kurang pas di hati mereka, akan ada lagi cerita-cerita yang seakan memberikan peringatan kepadaku bahwa apa yang telah kulakukan itu tidak pas. 

Tidak jarang, mereka sering mengulang nasehat-nasehat di lain kesempatan. Dengan jalan cerita yang sama, cerita itu seakan diputar kembali. Tak lain, menjadi sebuah keharusan bagiku untuk senantiasa mendengarkan setiap cerita yang berisikan nasehat kehidupan yang sangat berharga tersebut. Meskipun mereka adalah bukan tokoh terkenal dan berpendidikan, namun nasehat-nasehatnya tidak boleh diremehkan. Nasehat mereka ampuh, karena apa yang disampaikan memang berdasar pengalaman kehidupan yang dilaluinya. Banyak peristiwa yang telah dilalui semasa hidupnya, yang bisa dijadikan pelajaran berharga. Itulah kekuatan nasehat Simbah.

Pare, 28-02-2017

Minggu, 26 Februari 2017

Sepotong Cerita Weekend


Ngumpul, ngobrol, dan makan bersama, serta tak lupa foto bareng, itulah mungkin misi kami berkumpul di libur akhir pekan ini. Setelah berunding sebelumnya, akhirnya kami menemukan tempat yang sekiranya pas untuk berkumpul kali ini. Salah seorang teman mengusulkan untuk berkumpul di “Sribu Asri”. Konon, tempat ini sangat pas. Kamipun menyetujuinya. 

Sribu Asri merupakan tempat makan lesehan dan ada fasilitas arena kolam pemancingan di sekelilingnya. Saya juga baru mengenal tempat ini. Tidak jauh dari area kampung Inggris, hanya sekitar 15 menit saja. Terlihat disana-sini banyak orang yang memancing. Bagi yang memancing, ikan hasil pancingan tersebut bisa dijadikan menu santapan disana atau bisa juga dibawa pulang. Yang jelas ikan asil pancingan tidak boleh dilepas kembali.

Setelah beberapa saat menu dipesan, pelayan pun mengantarkan makananya. Karena pesannya paket untuk sejumlah orang, jadi kami menikmati menunya bersama-sama. Ada gurami bakar, ayam, lalapan, dll. Bisa menyantap makanan bersama sambil menikmati pemandangan yang memang asri di tempat tersebut menjadi keistimewaan tersendiri.



 Berfoto setelah semua makanan yang tersaji ludes, 😅



Sempatkan untuk narsis terlebih dahulu sebelum meninggalkan tempat. Hitung-hitung untuk kenangan, jika kita pernah datang bersama kesini

Demikian sedikit cerita weekendku ^_^

Rabu, 15 Februari 2017

Ukiran Kata dari Kota Reog



Sepertinya tidak ada agenda khusus untuk kulakukan di weekend minggu ini. Aku pun berinisiatif untuk memanfaatkan weekendku dengan menghadiri acara literasi di Ponorogo, tepatnya di STKIP. 

Aku pun tanpa berpikir panjang langsung membulatkan niat dan berangkat. Perjalanan kumulai dari Kediri, selepas dhuhur. Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan seorang temanku yang rumahnya Ponorogo. Aku akan bermalam di sana.

Sebenarnya dengan pulang ke kampung halaman, Ponorogo lebih dekat. Tidak sampai dua jam dari Trenggalek. Kalau pulang ke rumah, dari Trenggalek kota memakan waktu hingga tiga jam lebih. Tapi, apa mungkin baru pengalaman pertama dan belum terbiasa, jadi perasaanku perjalananku itu serasa berjam-jam.

"Kok tidak sampai-sampai ya, apa aku salah jalan", berkali-kali pikiran itu menghantui benakku selama perjalanan. Bukannya takut, tapi salah jalan itu sesuatu yang kurang asyik saja bagiku.

Entah kenapa aku kurang nyaman saja menggunakan gps untuk media membantu menunjukkan arah saat bepergian. Aku lebih nyaman bertanya orang lain. Karena sasaranku bertanya adalah orang-orang baik, mereka pun bersedia memberikan penunjuk arah yang benar hingga aku bisa sampai di tempat dengan selamat. 

Oh iya, jangan lupa berdoa ya sebelum perjalanan dan kalau memungkinkan lebih baik berhenti sholat dulu kalau sudah masuk waktu sholat. Ini bisa lebih membuat tenang saat perjalanan.

Aku bingung, sebenarnya di paragraf ini aku ingin menggambarkan jalan yang kulakui kemarin itu. Ada banyak hal yang kutemui. Inginnya kuceritakan semua, tapi bingung ingin memulainya dari mana. 

Begini saja, singkat cerita sebelum memasuki Ponorogo yang dataranya rendah, jalanya ngeri-ngeri sedap. Sedapnya karena aku bisa menikmati pemandangan yang sebelumnya belum pernah kunikmati. Ngerinya, jalannya berkelok-kelok dan ada beberapa bagian yang menanjak dengan kondisi jalan yang kurang bersahabat. 

Apalagi saat melewati jalan yang baru terkena longsoran. Suasana kiri kanan membuatku mengucap istigfar. Betapa tidak ngeri, pepohonan besar banyak yang tumbang, menyaksikan bekas longsor dari tebing yang sangat tinggi dan kemungkinan sewaktu-waktu akan terjadi lagi, beberapa bagian jalan retak dan licin. Namun, aku masih sangat bersyukur karena hujan sangat bersahabat di 

Akhirnya sampailah aku di kota. Ya, kota reog. Aku menyaksikan banyak patung reog ponorogo dan juga patung para pemainya menghiasi beberapa titik. Pertama aku melihatnya di tugu selamat datang, lalu di gapura-gapura masuk gang, ada lagi di persimpangan jalan raya, dan masih banyak lagi.

Keramaian terasa ketika aku pmemasuki kecamatan Ponorogo. Menjelang maghrib suasananya sangat ramai. 

Karena harus menunaikan sholat maghrib, aku berhenti terlebih dahulu di sebuah masjid. Aku bersinggah di sana hingga waktu 'isya tiba. Sambil menunggu waktu sholat 'isya aku mencicil tulisan ini.

Setelah sholat, aku langsung menuju alun-alun. Kami janjian disana. Malam itu suasanya sangat ramai. Rupanya di alun-alun lagi ada acara.

Tidak berselang lama, temanku datang. Aku bertanya kepadanya tentang acara tersebut. Ternyata yang sedang berlangsung meriah itu adalah pementasan bulan purnama. 

Malam itu ternyata tanggal 15. Dan aku memandang ke langit dan memang bulan purnama tengah menghiasi langit malam kota reog. Suasana malam yang cerah membuat bulan purnama bersinar sempurna, seraya menyaksikan pementasan meriah itu. Tapi, kami tidak lama disana dan segera pulang.

Dan hari ini cerita dari kota reog masih berlanjut. Bisa ngangsu kawruh langsung dengan pakar literasi, sekelas Pak Hernowo dan Pak guru J. Sumardianta menjadi vitamin penyemangat tersendiri.

Ponorogo, 12 Pebruari 2017

*Dicopas dari status FB pada 12 Pebruari 2017

Selasa, 14 Februari 2017

Bebaskan Kegalauan Menulis dengan “Free Writing”



Catatan ini adalah catatan lanjutan dari ukiran kata dari kota Reog  (1). Kali ini yang ingin saya tulisan adalah mengenai apa yang telah saya dapatkan dari sekolah literasi gratis (SLG) yang digelar di STKIP Ponorogo pada hari Minggu (12/02). Meskipun perjalanan yang cukup mengerikan itu saya lalui, khususnya waktu perjalanan pulang yang  sempat dihadang longsor dan banjir, namun semuanya terbayarkan berkat ilmu dan wawasan kepenulisan yang saya dapatkan dari guru literasi yang sangat berwibawa. 

Dalam kesempatan ikut SLG tersebut, saya bersyukur bisa berjumpa dengan Bapak Hernowo dan bisa mendapatkan ilmu menulis dari beliau .


Saya sangat menyimak dengan baik, apa yang beliau sampaikan mulai dari awal hingga akhir acara. Dengan media power point yang eye catching, presentasi beliau menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta SLG. Saya pun menikmati slide demi slide yang beliau sajikan. Mulai dari perkenalan, pengalaman menulis, hingga pengenalan buku karyanya di dukung dengan gambar-gambar menarik. Tidak terlalu banyak tulisan, itulah sedikit gambarannya. 


Dengan gaya penyampaian dan penuturan beliau yang sangat komunikatif, bahasa yang tidak bertele-tele, jelas, dan tidak terlalu cepat, semua yang beliau sampaikan sangat mudah dipahami. Pembawaan beliau di usia yang sudah menginjak tidak muda lagi juga jauh dari bayangan awal saya. Beliau masih terlihat muda dan dan enerjik. Sepertinya ini karena gaya hidup beliau yang selalu mengalir.


Pak Hernowo dalam kesempatan ini salah satunya mengajak kami untuk bisa praktik menulis secara mengalir bebas atau istilah lainya free writing sebagai sebuah upaya berlatih menulis. Dengan berlatih menulis menggunakan strategi ini bisa menyegarkan. “Kesegaran yang bisa dirasakan layaknya air jernih yang ditetesi lemon dan diminum di siang hari,” begitulah tegas beliau. Kita bisa merasakan kesegaran dalam menulis.               
                                                

Pak Hernowo telah belajar banyak akan strategi menulis free writing ini. Salah satu guru yang beliau tunjukkan untuk belajar free writing adalah Peter Elbow lewat bukunya yang berjudul Writing without Teachers. Yang selama ini menulis adalah sesuatu yang membuat kita galau, takut, tidak PD, penuh tekanan, serta berbagai hambatan yang lain, beliau menjamin bahwa kegiatan menulis dengan praktik menulis mengalir bebas bisa menjebol segala hambatan menulis tersebut.

Memang, tidak hanya perlu sekali dua kali untuk mempraktikannya. Hingga kini Pak Hernowo telah menjalankan kegiatan ini secara rutin. Beliau menegaskan bahwa semua perlu waktu dan proses, tidak instan.


Langkah demi langkah menulis bebas ini beliau jelaskan dengan sangat gamblang. Mulai menyetel alarm hingga memberikan contoh langsung kepada kami bagaimana praktiknya. Sejauh yang saya pahami dalam praktiknya praktik free writing dipacu dengan waktu. Jadi, kita dituntut untuk menulis dalam periode waktu tertentu, misalnya 5, 10, atau 15 menit dan dalam waktu tersebut kita akan menulis secara terus-menerus tanpa henti tentang apa saja yang ada dalam pikiran.


Yang ditekankan dalam praktik menulis mengalir bebas ini, kata Pak Hernowo, bukan hasil, tapi lebih kepada prosesnya. Dalam menulis bebas, para pelaku diminta untuk melupakan aturan, melupakan kesalahan. Segala sesuatu yang menjadi beban dalam menulis kita abaikan atau buang, seperti halnya ide, tanda baca, ejaan, dll. Misalnya, selama ini enggan menulis karena tidak punya ide yang bagus, free writing mencoba menganjurkan untuk tidak memikirkan soal ide. Ide tidak ada, tulisan tidak berbentuk, bahkan berantakan tidak jadi soal. 


Kalau selama latihan menulis kita sering sibuk dengan mengatur ejaan dan tanda baca, strategi ini juga memberikan keringanan akan hal itu. Jadi, menulis mengalir bebas ini untuk menyingkirkan keraguan ketika menulis dan juga bisa membebaskan pikiran kita. Soal kualitas adalah urutan yang menjadi nomor sekian. Karena semuanya dijalani dengan spontan, maka dalam strategi ini logika tidak memberdayakan. Kita dituntut untuk menulis tanpa melibatkan otak kiri yang cara berpikirnya cenderung penuh dengan logika dan keteraturan.


Saatnya latihan mengalirkan ide.

Ketika Pak Hernowo mempraktikkan langsung cara menulis dengan teknik free writing

Pak Hernowo mendemonstrasikan langsung praktik free writing ini. Dengan alarm yang disetting selama dua menit, beliau dengan spontan langsung menulis. Waktu alarm berbunyi, beliau juga langsung berhenti menulis. Demonstrasi beliau secara langsung ini membuat saya jadi semakin paham akan konsepnya. Awalnya memang saya mengira kalau menulis di blog itu termasuk di free writing. Ternyata tidak. Kata Pak Hernowo menulis bebas itu berbeda dengan menulis di blog. Dalam menulis bebas, kita melakukannya di ruang pribadi. Kita tidak dituntut untuk berpikir mau menulis apa. Latihan menulis ini lebih untuk diri sendiri, tidak untuk dipublikasikan. 


Begitu waktu dimulai, langsung mengetik saja. Abaikan hasilnya, tidak perlu usaha untuk mengoreksinya atau memperbaiki yang sudah ditulis. Yang penting, rasakanlah prosesnya. Apakah nyaman atau masih tegang (kemrungsung)? Kata Pak Hernowo merasakan kenyamanan, kelegaan (plong), kesenangan setelah menulis jauh lebih penting dibandingkan hasil. Terlihat dari hasil menulis bebas Pak Hernowo, ada kesalahan ejaan dan kekurangan huruf. Sekali lagi, karena yang ditekankan bukan hasil tetapi proses, jadi tidak masalah. Meskipun begitu, tampak sekali tulisan Pak Hernowo mengalir bagaikan air ketika dibaca secara lantang. Ini karena Pak Hernowo merasakan sekali kenyamanan dalam menuliskannya: santai, tidak kemrungsung, dan bebas dari segala tekanan.

Setelah selesai menulis mengalir bebas, Pak Hernowo membacakan tulisanya secara lantang dan memberikan penjelasan 



Pak Hernowo sempat berbagi pengalaman juga tentang manfaat menulis bebas. Strategi menulis bebas ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengeluarkan energi (emosi) negatif. Beliau mengajarkan kepada kami akan pentingnya pengendalian diri terhadap emosi negatif lewat tulisan. Seperti contohnya saat sakit hati karena dimaki-maki orang. Dalam kondisi ini, kita perlu mengendalikan diri untuk tidak mendendam dan sakit hati tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian diri dan solusinya adalah dengan cara meluapkan amarah dalam bentuk tulisan.


Ketika kita bisa mempraktikan menulis mengalir bebas dengan rutin setiap harinya, hal ini niscaya akan bisa meningkatkan ketrampilan kita dalam membuka pikiran, serta merangkai dan mengalirkan ide menulis. Namun, kesabaran, konsistensi, ketekunan, dan kedisiplinan menjadi poin penting yang juga tidak boleh terpisahkan. 

Menjadi sebuah kesempatan yang bermanfaat kiranya, saya bisa hadir di SLG kali ini. Terimakasih atas ilmunya Pak Hernowo, telah mencurahkan segala inspirasinya untuk kami semua. Perlahan tentu saya akan mempraktekannya. Bismillah.

Salam literasi bersama Pak Hernowo

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...