Sabtu, 31 Mei 2014

The great Grandma



The great Grandma
Oleh: Eka Sutarmi

            Nenekku  memang bukan satu-satunya orang yang menginspirasi di dalam keluarga saya, tanpa terkecuali Ibu, Bapak, Kakek, Paman, Bibi, dan Adhik pun juga  menjadi tokoh inspirator dalam hidup saya. Merekalah orang-orang hebat yang paling berperan dalam hidup saya, cinta sejati yang ada dalam diri saya. Tulisan yang bertema “Nenekku Inspirasiku” muncul di benak saya ketika saya ingat dengan cerita perjalan hidup nenek saya  yang berliku-liku, tetapi punya keinginan kuat untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Nenek memang orang yang tidak berpendidikan, bahkan ia tidak pernah merasakan duduk bangku sekolah Tetapi dari pengalaman hidupnya itu, ia malah memiliki tekat yang kuat agar anak, cucunya bisa sekolah tinggi dan bisa menjadi orang yang sukses.
            Nenek saya  adalah sosok yang ulet, pemberani, dan bekerja keras. Ia lahir pada tanggal 09 September 1959 di tengah-tengah keluarga yang bisa dibilang banyak, ia anak ketiga dari sebelas bersaudara. Dibilang bekerja keras, karena pada saat masih anak-anak, sekitar usia 7 tahun ia sudah di percaya oleh orang tuanya untuk mengurusi adik-adiknya, memasak, menggembala kambing, dan juga merawat simbah-nya yang sudah tua. Nenek saya harus bisa membagi waktunya untuk menjalankan tugas-tugasnya tersebut. Semakin ia bertambah besar, tanggung jawab yang diberikan pun juga semakin besar. Adhiknya yang semakin tumbuh besar, dan tak ketinggalan yang bayi juga makin bertambah….yaa maklum kata simbah saya jaman dulu belum ada KB. Untuk menjalani kehidupan pada saat itu tidak semudah yang kita alami saat ini, banyak yang serba instan, Untuk makan saja satu keluarga saja nenek saya harus menumbuk singkong sebanyak satu sampai dua sak perhari. Nasi putih pada saat itu masih jarang, jadi yang dijadikan makan pokok yaitu nasi thiwul (nasi yang terbuat dari singkong). Selain itu, ia juga harus membantu ibunya untuk menjual barang dagangan, seperti kelapa, keropak, kunyit, jahe ke pasar. Perjalanan jauh dan beban berat yang di gendongnya seringkali membuatnya mengeluh, tapi apa boleh buat…mau tidak mau, kuat tidak kuat…ya harus kuat. Perjalanan jauh itu tidak ditempuh dengan kendaraan, ia harus jalan kaki…berangkat malam, pulang malam. Yang bikin saya terharu saat di kasih tahu ceritanya yaitu saat ia pulang dari pasar dan ia sangat ingin membeli buah nangka yang di dasarkan di pinggir jalan, tapi uangnya tidak mencukupi untuk membeli buah nagka tersebut, sehingga untuk membayar rasa inginya untuk menikmati buah nangka itu, nenek saya mengambil sisa buah nangka (dami) yang sudah dibuang. Makanya sampai saat ini nenek saya itu mewanti-wanti untuk tidak menyisakan makanan apapun, karena ya…mengingat jaman dulu, untuk beli jajan saja berpikirnya bisa lima sampai seratus kali.
            Lain cerita, suatu hari nenek saya itu diberikan saba’ dan grip (alat tulis-menulis jaman dahulu) oleh seseorang untuk peralatan sekolah, seingat saya seseorang yang memberinya alat itu namanya Ibu Masitorini. Uniknya alat tulis menulis itu sekali pakai, jadi jika ia sudah menuliskan satu lembar penuh, tidak bisa berganti dengan lembar yang baru lagi melainkan harus menghapusnya dan menulis di lembar yang sama. Karena menurut ceritanya saba’ itu hanya berupa satu lembar saja, dan bisa dipakai secara berulang-ulang. Istilahnya tulis-hapus, tulis lagi-hapus lagi, dan seterusnya. Kalau saat ini masih begitu ATM- nya, bisa-bisa bikin kepala langsung botak ya? He e e.  Ia sangat senang sekali pada saat itu, ia bisa merasakan bagaimana rasanya belajar. Tapi setelah satu minggu ia bersekolah, ketahuan sama ayahnya, Mbah Buyut Parmin (alm). Tidak berpikir panjang, Saba’ dan gripnya langsung di pecah olenya, karena mulai dari awal memang ayahnya tidak setuju kalau ada anak nya bersekolah…dari anaknya yang berjumlah sebelas itu, ternyata semuanya tidak ada yang di sekolahkan. Di usia yang kurang dari 10 tahun, nenek saya sudah disuruh menikah olah kedua orang tuanya, ia di jodohkan dengan seorang laki-laki ganteng, yang bernama Kakek Paijo. Beda umur mereka sangatlah jauh. Mau saya ceritakan kenapa menikah dibawah umur dibolehkan saat itu, saya lupa bagaimana itu bisa terjadi. Yang jelas mereka berdua telah resmi menjadi suami-istri.
            Pernikahan mereka berdua ternyata tidak sia-sia, kerja keras mereka berdua untuk mencari modal buat rumah tangga berhasil. Mereka akhirnya berhasil menyekolahkan anak pertamanya hingga ke perguruan tinggi. Usahanya tersebut tidak semudah yang saya bayangakan, ada cerita yang lebih menarik dan mengaharukan dibalik kesuksesanya itu. Benar-benar sebuah pengorbanan yang luar biasa untuk bisa menyekolahkan anak nya pada saat itu, Sangat jarang orang yang peduli pendidikan di zaman tersebut, karena sebagaian besar orang lebih memilih untuk mempergunakan uangnya untuk yang lain daripada untuk pendidikan. Tapi hal ini sangat berbeda dengan pola pikir nenek saya, ia memiliki prinsip bahwa dengan sekolah mungkin akan membuat hidupnya menjadi lebih mudah, tidak seperti yang nenek alami saat itu.      
            Anak pertama dari pasangan Paijo-Katijah ini namanya kanijan, ia adalah paman saya. Menurut ceritanya, ia adalah sosok orang yang penurut kepada orang tuanya. Dari masih bayi hingga anak-anak ia tidak pernah dengan yang namanya minum ASI, atau susu instan, ya.. karena keterbatasan ekonomi, serta gizi, sampai-sampai ASI nya tidak keluar dan tidak mampu untuk beli susu instan., untuk mengganti gizinya ia hanya di kasih minum air tajin (air rebusan beras) oleh nenek saya. Yang membikin saya terharu, pada saat masuk sekolah dasar paman saya itu tbuhnya paling kecil sendiri, dan baju yang dipakai kebesaran. Teman-temanya sering melepas celanannya dan diejek. Ia sempat putus asa dan malu untuk kembali bersekolah. Semangat yang tetap mengalir dari nenek saya terus tercurahkan kepada sang anak tercinta itu agar ia tetap semangat bersekolah. Memasuki sekolah menengah pertama, ia juga patah semangat karena banyak teman-temanya yang masuk di sekolah negeri, tapi ia tidak…ia diterima di salah satu sekolah swasta. Nenek saya masih tetap memberinya semangat agar ia tidak lagi patah semangat, sekolah swasta tidak apa-apa, yang penting sungguh-sungguh. Setiap hari nenek saya harus mengantarkan ke sekolah, mereka harus berangkat jam satu malam agar paginya ia sudah sampai di sekolah. Itu dengan sabar dilakukan oleh nenek saya. Yang juga membikin saya heran saat di kasih cerita oleh nenek saya itu, pernah suatu saat kakek saya menyuruh paman saya untuk berhenti sekolah, entah alasanya apa saya kurang tahu. Tapi hal itu juga tidak menyurutkan niat nenek saya untuk tetap berusaha menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Dan akhirnya dengan perjuangan dan do’a dari seorang ibu, ia berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan yang mapan, meskipun hanya sebagai guru SMA.




















Minggu, 11 Mei 2014

H - 4 Jam

Hari ini adalah hari yang membuat kami was-was, khususnya kelas TBI-4A. Tepatnya pukul 08.40 am nanti kelas kami ada UTS mata kuliah syntax, bisa juga disebut dengan nahwu-shorof bahasa inggris . Mata kuliah yang menurut saya tingkat kesulitanya sampai stadium lanjut. Tapi saya suka dengan mata kuliah ini karena menurut saya mata kuliah yang asyik, tidak mambikin suasana bosan dan ngantuk, karena apa........dalam mempelajari mata kuliah ini benar-benar kita dituntut untuk berpikir, mungkin juga karena dosen-nya yang sudah expert dalam menyampaikan materinya. Sehingga kalau ditinggal enak-enakkan ngantuk, atau tidak mendengarkan apa yang di sampaikan oleh dosen atau presentator akan ketinggalan materi. Tertinggal materi sedikit saja dalam mata kuliah ini bisa-bisa berakibat fatal.

Kurang lebih enam jam-an lagi UTS ini dilaksanakan, tapi kayaknya persiapan saya kurang matang. Sistem SKS saya gunakan untuk mempelajari materi syntax ini. Sebenarnya saya sudah merencanakan dari lima hari yang lalu untuk mempelajari materi ini, tapi keinginanku berkehendak lain. Baru kemarin saya memulai belajarnya, dan saya lanjutkan tadi malam, hingga saat ini saya relakan untuk begadang tapi materinya belum tuntas-tuntas juga....Ahh. Kali ini saya memutuskan untuk break dulu, numpang curhat sebentar yaa. Siapa tahu bisa lebih lega setelah saya menuangkan unek-unek saya ini, he e e.

Semoga usaha saya ini tidak sia-sia, soal-soalnya semoga bisa saya kerjakan dengan lancar. Hasilnya ya....semoga bisa memuaskan. Aamiin

Rabu, 07 Mei 2014

Salah Orang

  Hari Rabu ada kejadian konyol antara teman saya dan saya. Hal ini berawal saat pergantian jam, antara jam pertama dan jam kedua. Kebetulan hari rabu jam kedua itu kosong (tidak ada mata kuliah), saat itu saya memutuskan untuk mengajak teman saya duduk-duduk di gazebo guna berdiskusi tentang tugas yang harus kami selesaikan. Di tengah asyik berdiskusi dengan teman saya , tiba-tiba ada seseorang yang mengerim SMS kepada saya. Saya lihat SMS itu ternyata dari teman saya satu kelas, namanya tertulis di kontak saya Mbak Dewi…..nama lengkapnya Dewi Wulansari. Tanpa menunggu lama SMS itu langsung saya buka, mungkin ada informasi penting mengenai tugas atau make-up kelas (piker saya). Tapi yang terjadi sebenarnya bukan seperti itu, ada percakapan yang aneh dan konyol yang terjadi antara kami berdua, tidak biasanya dia menginbox saya seperti ini;
Mbak Dewi      : “Adhek, ada jam kosong ga’?”
Saya ingat sekali jika itu adalah teman sekelas saya, tapi kenapa ia mengirim SMS yang tak biasa kepada saya, perasaan selama ini yang manggil saya adhek itu tidak ada…..adanya panggilan emak yang biasanya diberikan temen sekelas saya kepada saya, langsung saja SMS itu saya tunjukkan ke teman saya. Teman saya mengatakan bahwa mungkin itu ada orang yang pinjem Hp-nya Mbak Dewi buat SMS kamu. Oh……Mungkin bener juga ya. Karena saya masih penasaran siapa dia, langsung saja saya balas SMS itu;
Eka                        : “Oh…iya ada, tapi siapa ya ini, kayaknya bukan Mbak Dewi dech?”
Saya mengira itu bukan Mbak dewi karena ia menanyakan ada jam kosong atau tidak, padahal kalau ia beneran mbak Dewi seharusnya ia kan juga tahu kalau saat itu tidak ada mata kuliah…..rasa penasaranku semakin bertambah, tidak lama kemudian ia membalas SMS ku;
Mbak Dewi      : “ Heh, busyet…Jan” kok sudah lupa to…Q Mbak Wulan, bukan Mbk
Dewi. Ha a . Saya di kantin Dhek, Sinio. Ini saya lagi jam kosong. Ga’
kangen aku ta? Ha a a a
Rasa penasaran saya semakin tinggi, saat itu saya masih belum sadar jika nama Dewi dan Wulan itu satu kesatuan. Saya lupa jika nama lengkapnya itu Dewi Wulansari. Saya juga bertanya-tanya saat itu, wulan itu siapa ya? Seumur-umur saya kaya’ ndak punya teman yang namanya wulan di kampus, adanya teman kos saya dan kayaknya itu tidak mungkin, karena dilihat dari kata-katanya bukan dia banget. Rasa penasaran saya membuat saya pengen lagi untuk membalas SMS itu;
Eka                        : “ Siapa ta Mbak sampean? Terus lagi di kanti mana?
Saya bener-bener penasaran tentang mbak Dewi yang mana ini ya……….jarang-jarang lho saya dikangenin sama orang, saya memutuskan untuk menemui dia, saya yakin dia ada di kantin sekitar kampus. Mungkin diam-diam ada yang nge-fans sama saya, he e e e. Tak lama kemudian ia membalasnya;
Mbak dewi         : “ Kantin green dhek…tapi hampir selesai ini aku. Ga’ apa-apa kalau
masih sama temen-temen, Santai aja…..he e e
Setelah mengetahui dimana dia, saya langsung bergegas menuju kantin green………beranjak di canteen green saya mulai lirik kanan kiri, kalau ada orang yang menoleh saya…berarti dia yang SMS saya. Tapi saya lihat di halaman kantin tidak ada yang menengok ke saya, langsung saja saya begegas menuju ke dalam, dan apa yang terjadi kawan???? Dugaan saya benar ……Yang disitu adanya Mbak Dewi, teman sekelas saya, tanpa ragu saya langsung menghampiri dia. Saya menceritakan tentang apa yang sedang terjadi di antara kita. Mbak dewi syok dengan semua itu, waktu itu dia masih belum sadar bahwa yang di kirim SMS itu Eka, teman sekelasnya. Padahal sebenarnya ia ingin mengirim SMS nya ke adhik kelasnya yang namanya sama-sama Eka. Pada saat itu ia juga masih mengira kalau saya ke kantin itu mau sarapan, bukan menemui dirinya. Eh....ternyata, yang di kangenin siapa yang dateng juga siapa..............pasti mbak dewi kecewa ya? he e e
Setelah kami mengetahui jika kita telah ada miscommunication, kamipun tidak bisa menahan tawa kami, tawa kami serasa meramaikan suasanaa kantin saat itu. Kami saling menceritakan satu sama lain tentang apa saja yang di SMS kan tadi. Hampir saja kami tidak bisa menghentikan tawa kami. Dan anehnya saat kita bertemu di kelas pada  jam ke-empat kejadian itu teringat kembali, tawa-pun hidup kembali saat itu. Padahal pada hari itu kami sedang dibuat pusing dengan adanya UTS pada 2 mata kuliah, Quantitative dan writing. Tapi dengan kejadian itu rasa pusing dan deg-degan terasa hilang begitu saja, entah kenapa…….sehingga rasa sulit saat mengerjakan UTS itu tidak terasa………..JUST GO WITH A FLOW.

Senin, 05 Mei 2014

Ada Tugas Membuat Karangan

          Topik: Mahasiswa dan Tradisi Menulis

       Menulis merupakan bentuk komunikasi secara tidak langsung dimana penulis dituntut untuk menyatakan pikiran, gagasan, perasaan, dan kehendak kepada orang lain untuk mencapai maksud dan tujuannya.[1] Berbicara soal menulis, hal ini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, terutama baginkalangan mahasiswa  selama menempuh perguruan tinggi. Menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Menulis menjadi bagian penting dari mahasiswa karena dalam proses perkuliahan mahasiswa dituntut untuk membuat karya tulis, seperti artikel, makalah, hasil observasi, hingga skripsi/thesis yang mana hasilnya tidak akan maksimal jika tidak ada penguasaan ketrampilan dalam dunia tulis-menulis. Dengan demikian, secara tidak langsung mahasiswa dituntut untuk mahir dalam menulis.
Namun kenyataanya tidak sedikit mahasiswa yang kurang menyukai akan dunia tulis-menulis ini. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi ketidakminatan mahasiswa dalam menulis, kemauan adalah salah satunya. Sebenarnya semua orang itu mampu untuk menulis, apalagi mahasiswa pasti bisa menulis. Menulis juga dapat diartikan sebagai ketrampilan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang sudah terbiasa, hanya dalam hitungan detik saja mereka mampu menuangkan apa yang terpikirkan di benak ke dalam beberapa lembar halaman kertas. Sebaliknya bagi yang belum terbiasa menulis, rasanya selalu timbul banyak kesulitan saat ingin mengungkapkan apa yang terpikirkan. Tema sudah ada, gambaran yang ingin ditulis juga sudah ada, tetapi setelah memulai menulis, tangan mendadak berhenti dan suasana hati (mood) untuk menulis juga kurang.[2] Banyaknya tugas kuliah seringkali juga menjadi alasan yang menjadikan mahasiswa enggan untuk menulis, waktu yang kita punya punya habis untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut sehingga waktu untuk menulis tidak ada.
Selain itu kurangnya budaya membaca mahasiswa juga mempengaruhi budaya menulis, kurangnya budaya membaca mahasiswa ini terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang lebih memilih untuk menonton film daripada pergi ke perpustakaan untuk membacaa buku. Padahal dengan membaca, kita akan memperoleh pengetahuan lebih yang bisa digunakan untuk ide atau referensi saat menulis. Mungkin bagi sebagian mahasiswa enggan untuk menulis karena merasa referensi yang mereka miliki unutk membuat sebuah tulisan masih kurang.
Seiring dengan perkembangan tekhnologi yang semakin canggih, sebenarnya juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa unutk menulis. Namun kesempatan ini belum disambut sepenuhnya oleh mahasiswa, mereka masih banyak yang memanfaatkan IT yang canggih, seperti jejaring social (FB, Twitter, dll) untuk meng-update status atau komentar yang berisi curahan hati atau keluh kesah belaka. Jarang dari mereka yang memanfaatkanmedia sosial untuk menulis tulisan yang sekiranya berbobot dan bisa memberikan inspirasi kepada orang lain.[3]
Situasi yang membuat mahasiswa enggan akan tradisi menulis ini sebab banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari menulis:
1.    Sabagai instrument untuk menjaga ilmu, pendapat, pemikiran, opini, dan argument dari keraiban, serta untuk menyebarkanya secara luas.
Tersebarnya beragam madzhab fiqih di berbagai belahan dunia adalah lewat tulisan. Para ulama bekerja keras untuk mengumpulkan pendapat dan argument  mereka dengan cara menulis, lalu membukukanya. Kita semua sudah sama-sama maklum bahwa kekuatan otak untuk mengingat sesuatu sangat terbatas. Adapun satu-satunya jalan untuk mengabadikan apa yang pernah terpikirkan adalah menulis. Ilmu yang diabadikan dalam bentuk tulisan akan terus memberikan manfaat yang lain sampai bergenerasi-generasi banyaknya, meskipun saang penulis telah lama tiada. Tulisan tersebut ibarat diri sang penulis yang masih hidup, terus menjadi guru, dan bisa terus memberikan ilmunya ke orang lain.
2.    Sebagai media dakwah yang sangat bermanfaat
Di zaman yang bertekhnologi canggih seperti sekarang ini kita bisa menulis sebagai sebuah rutinitas keseharian. Tulisan merupakan media dakwah yang efektif tanpa harus terjun langsung ke objek dakwah. Baik menulis di atas kertas maupun menulis di lembaran-lembaran akun dunia maya.
3.    Menulis adalah media belajar
Tidak lengkap rasanya jika belajar tanpa menulis. Kurang lengkap rasanya jika ilmu yang kita punya tidak kita lengkapi dengan menuliskanya. Jika kita melihat kisah hidup para ulama salaf, ulama kontemporer, dosen dan guru, orang-orang besar serta para pemimpin dunia, hidup mereka tidak lepas dengan yang namanya menulis. Salah satu contohnya yaitu Ibnul Qoyyim yang telah menulis kitab Zaadul Maad hanya dalam waktu yang singkat (tidak sampai satu tahun). Padahal kitab itu sampai terdiri atas empat jilid. Berapa puluh lembar ilmu yang beliau tuliskan dalam seharinya. Sekali lagi, menulis adalah media belajar. Aktvitas menulis akan mendorong dan menuntut kita untuk menyerap, menggali, dan mengumpulkan infrmasi sebanyak-banyaknnya untuk menopang tema yang hendak kita tulis.
4.    Menulis akan membuat hidup menjadi  produktif dan usia tak terbuang sia-sia
Banyak orang yang beranggapan bahwa menulis adalah kegiatan yang membosankaan dan sia-sia. Tapi justru sebaliknya, aktivitas menulis dapat membuat hidup lebih produktif dan usia lebih bermanfaat sebab tak terbuang sia-sia. Dengan menulis, wawasan kita akan terus bertambah, serta di setiap detik dan kehidupan kita akan terisi dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kita sendiri dan orang lain.[4]
Sebenarnya masih banyak lagi manfaat menulis yang bisa di petik dari tradisi menulis. Apa yang tersampaikan di atas hanya sebagian kecilnya. Akan tetapi dari yang sedikit itu, semoga sudah bisa menjadi motivasi bagi kita sebagai mahasiswa untuk menghidupkan kembali tradisi menulis.
Kita menjadi kreatif memang butuh paksaan, terutama dari diri saya sendiri . Saya mampu untuk menulis seperti apa yang telah saya tuliskan ini, sayangnya menulisnya ini karena tugas mata kuliah dari dosen, bukan atas kesadaran sendiri.
Menghadapi masalah yang seperti ini memang gampang-gampang susah untuk diatasinya. Radisi menulis ini harus segera di tata kembali agar para generasin selanjutnya tidak lagi malas-malasan untuk menulis seperti yang terjadi pada mahasiswa saat ini. Semoga bagi mahasiswa yang kurang menyukai akan tradisi menulis menjadi sadar bahwa menulis itu sangat penting bagi mahasiswa. Aamiin.
Sebagai motivasi untuk mahasiswa, khususnya saya sendiri. Saya kebetulan menemukan cerita tentang seseorang yang berhasil dalam menulis. Ia bernama June yang telah mampu berusaha keras untuk mendobrak hambatanya saat menulis. Dalam ceritanya June ini adalah seorang yang berasal dari keluarga penulis, tapi dalam kenyataanya June ini merasa kalau bakat penulis dari keluarganya telah habis, ia tidak suka akan menulis. Namun, June ini memiliki kelebihan yatu terkenal sebagai pembicara hebat (ahli pidato) di kantornya. Suatu hari, temannya menyuruhnya untuk membuat artikel. Ia bingung bagaimana cara untuk memulainya. Namun temanya menyarankan kepada  June untuk duduk tenang, berpura-pura sedang berpidato-hanya saja itu disampaikan di atas kertas. Cara tersebut telah berhasil dilakukan June, sekarang ia teah menyandang gelar baru yaitu sebagai seorang penuis terbaik di kantoranya. Dari cerita itu saya memperoleh motivasi untuk meningkatkan menulis. Menulis kalau seperti caranya seperti itu rasanya mudah, karena diibaratkan pada saat kita bicara yang hanya saja medianya di atas kertas.[5]


[1] Ngainun naim, Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 169.
[2] Agustina soebachman, 4 Hari Mahir Menulis (artikel, jurnal, cerpen, skripsi) (Yogyakaarta: Syura Media Utama), hal. 18.
[3] Imam FR Kusumaningati, Jadi Jurnalis itu Gampang (Jakarta: PE. Elex Media Komputindo, hal. 13.
[4] Ibid., Hal 18-22
[5][5] Bobbi Depotter & Mike Hernacki, Quantum Learning (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), hal. 193.

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...