Topik: Mahasiswa dan Tradisi Menulis
Menulis merupakan bentuk
komunikasi secara tidak langsung dimana penulis dituntut untuk menyatakan
pikiran, gagasan, perasaan, dan kehendak kepada orang lain untuk mencapai
maksud dan tujuannya.[1]
Berbicara soal menulis, hal ini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan
manusia, terutama baginkalangan mahasiswa selama menempuh perguruan tinggi. Menempuh
pendidikan di perguruan tinggi. Menulis menjadi bagian penting dari mahasiswa
karena dalam proses perkuliahan mahasiswa dituntut untuk membuat karya tulis,
seperti artikel, makalah, hasil observasi, hingga skripsi/thesis yang mana
hasilnya tidak akan maksimal jika tidak ada penguasaan ketrampilan dalam dunia
tulis-menulis. Dengan demikian, secara tidak langsung mahasiswa dituntut untuk
mahir dalam menulis.
Namun
kenyataanya tidak sedikit mahasiswa yang kurang menyukai akan dunia
tulis-menulis ini. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi ketidakminatan
mahasiswa dalam menulis, kemauan adalah salah satunya. Sebenarnya semua orang
itu mampu untuk menulis, apalagi mahasiswa pasti bisa menulis. Menulis juga
dapat diartikan sebagai ketrampilan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi
mereka yang sudah terbiasa, hanya dalam hitungan detik saja mereka mampu
menuangkan apa yang terpikirkan di benak ke dalam beberapa lembar halaman
kertas. Sebaliknya bagi yang belum terbiasa menulis, rasanya selalu timbul
banyak kesulitan saat ingin mengungkapkan apa yang terpikirkan. Tema sudah ada,
gambaran yang ingin ditulis juga sudah ada, tetapi setelah memulai menulis,
tangan mendadak berhenti dan suasana hati (mood) untuk menulis juga
kurang.[2]
Banyaknya tugas kuliah seringkali juga menjadi alasan yang menjadikan
mahasiswa enggan untuk menulis, waktu yang kita punya punya habis untuk mengerjakan
tugas-tugas tersebut sehingga waktu untuk menulis tidak ada.
Selain
itu kurangnya budaya membaca mahasiswa juga mempengaruhi budaya menulis,
kurangnya budaya membaca mahasiswa ini terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang
lebih memilih untuk menonton film daripada pergi ke perpustakaan untuk membacaa
buku. Padahal dengan membaca, kita akan memperoleh pengetahuan lebih yang bisa
digunakan untuk ide atau referensi saat menulis. Mungkin bagi sebagian
mahasiswa enggan untuk menulis karena merasa referensi yang mereka miliki unutk
membuat sebuah tulisan masih kurang.
Seiring dengan
perkembangan tekhnologi yang semakin canggih, sebenarnya juga memberikan
kesempatan kepada mahasiswa unutk menulis. Namun kesempatan ini belum disambut
sepenuhnya oleh mahasiswa, mereka masih banyak yang memanfaatkan IT yang
canggih, seperti jejaring social (FB, Twitter, dll) untuk meng-update status
atau komentar yang berisi curahan hati atau keluh kesah belaka. Jarang dari
mereka yang memanfaatkanmedia sosial untuk menulis tulisan yang sekiranya
berbobot dan bisa memberikan inspirasi kepada orang lain.[3]
Situasi
yang membuat mahasiswa enggan akan tradisi menulis ini sebab banyak sekali
manfaat yang dapat diambil dari menulis:
1.
Sabagai instrument untuk menjaga ilmu, pendapat, pemikiran, opini,
dan argument dari keraiban, serta untuk menyebarkanya secara luas.
Tersebarnya
beragam madzhab fiqih di berbagai belahan dunia adalah lewat tulisan. Para ulama
bekerja keras untuk mengumpulkan pendapat dan argument mereka dengan cara menulis, lalu membukukanya.
Kita semua sudah sama-sama maklum bahwa kekuatan otak untuk mengingat sesuatu
sangat terbatas. Adapun satu-satunya jalan untuk mengabadikan apa yang pernah
terpikirkan adalah menulis. Ilmu yang diabadikan dalam bentuk tulisan akan
terus memberikan manfaat yang lain sampai bergenerasi-generasi banyaknya,
meskipun saang penulis telah lama tiada. Tulisan tersebut ibarat diri sang
penulis yang masih hidup, terus menjadi guru, dan bisa terus memberikan ilmunya
ke orang lain.
2.
Sebagai media dakwah yang sangat bermanfaat
Di
zaman yang bertekhnologi canggih seperti sekarang ini kita bisa menulis sebagai
sebuah rutinitas keseharian. Tulisan merupakan media dakwah yang efektif tanpa
harus terjun langsung ke objek dakwah. Baik menulis di atas kertas maupun menulis
di lembaran-lembaran akun dunia maya.
3.
Menulis adalah media belajar
Tidak
lengkap rasanya jika belajar tanpa menulis. Kurang lengkap rasanya jika ilmu
yang kita punya tidak kita lengkapi dengan menuliskanya. Jika kita melihat
kisah hidup para ulama salaf, ulama kontemporer, dosen dan guru, orang-orang
besar serta para pemimpin dunia, hidup mereka tidak lepas dengan yang namanya
menulis. Salah satu contohnya yaitu Ibnul Qoyyim yang telah menulis kitab
Zaadul Maad hanya dalam waktu yang singkat (tidak sampai satu tahun). Padahal
kitab itu sampai terdiri atas empat jilid. Berapa puluh lembar ilmu yang beliau
tuliskan dalam seharinya. Sekali lagi, menulis adalah media belajar. Aktvitas
menulis akan mendorong dan menuntut kita untuk menyerap, menggali, dan
mengumpulkan infrmasi sebanyak-banyaknnya untuk menopang tema yang hendak kita
tulis.
4.
Menulis akan membuat hidup menjadi
produktif dan usia tak terbuang sia-sia
Banyak orang yang beranggapan bahwa menulis adalah kegiatan yang
membosankaan dan sia-sia. Tapi justru sebaliknya, aktivitas menulis dapat
membuat hidup lebih produktif dan usia lebih bermanfaat sebab tak terbuang
sia-sia. Dengan menulis, wawasan kita akan terus bertambah, serta di setiap
detik dan kehidupan kita akan terisi dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kita
sendiri dan orang lain.[4]
Sebenarnya masih banyak lagi manfaat menulis yang bisa di petik
dari tradisi menulis. Apa yang tersampaikan di atas hanya sebagian kecilnya. Akan
tetapi dari yang sedikit itu, semoga sudah bisa menjadi motivasi bagi kita sebagai
mahasiswa untuk menghidupkan kembali tradisi menulis.
Kita menjadi kreatif memang butuh paksaan, terutama dari diri saya
sendiri . Saya mampu untuk menulis seperti apa yang telah saya tuliskan ini,
sayangnya menulisnya ini karena tugas mata kuliah dari dosen, bukan atas
kesadaran sendiri.
Menghadapi masalah yang seperti ini memang gampang-gampang susah
untuk diatasinya. Radisi menulis ini harus segera di tata kembali agar para
generasin selanjutnya tidak lagi malas-malasan untuk menulis seperti yang
terjadi pada mahasiswa saat ini. Semoga bagi mahasiswa yang kurang menyukai
akan tradisi menulis menjadi sadar bahwa menulis itu sangat penting bagi
mahasiswa. Aamiin.
Sebagai
motivasi untuk mahasiswa, khususnya saya sendiri. Saya kebetulan menemukan cerita
tentang seseorang yang berhasil dalam menulis. Ia bernama June yang telah mampu
berusaha keras untuk mendobrak hambatanya saat menulis. Dalam ceritanya June
ini adalah seorang yang berasal dari keluarga penulis, tapi dalam kenyataanya
June ini merasa kalau bakat penulis dari keluarganya telah habis, ia tidak suka
akan menulis. Namun, June ini memiliki kelebihan yatu terkenal sebagai
pembicara hebat (ahli pidato) di kantornya. Suatu hari, temannya menyuruhnya
untuk membuat artikel. Ia bingung bagaimana cara untuk memulainya. Namun temanya
menyarankan kepada June untuk duduk
tenang, berpura-pura sedang berpidato-hanya saja itu disampaikan di atas
kertas. Cara tersebut telah berhasil dilakukan June, sekarang ia teah
menyandang gelar baru yaitu sebagai seorang penuis terbaik di kantoranya. Dari
cerita itu saya memperoleh motivasi untuk meningkatkan menulis. Menulis kalau
seperti caranya seperti itu rasanya mudah, karena diibaratkan pada saat kita
bicara yang hanya saja medianya di atas kertas.[5]
[1] Ngainun naim, Dasar-Dasar
Komunikasi Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 169.
[2] Agustina
soebachman, 4 Hari Mahir Menulis (artikel, jurnal, cerpen, skripsi)
(Yogyakaarta: Syura Media Utama), hal. 18.
[3] Imam FR
Kusumaningati, Jadi Jurnalis itu Gampang (Jakarta: PE. Elex Media
Komputindo, hal. 13.
[4]
Ibid., Hal 18-22
[5][5] Bobbi Depotter
& Mike Hernacki, Quantum Learning (Bandung: Mizan Media Utama (MMU),
hal. 193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar