Jumat, 06 Mei 2016

Menyimak Khidmat Bedah Buku Masterpiece Islam Nusantara

Hari Kamis kemarin, janjian dengan beberapa teman saya dari kampus untuk menghadiri acara tersebut. Bedah buku kali ini diadakan di kantor PCNU Tulunggaung, sekaligus digelar dalam rangka peringatan hari lahir NU yang ke-93. Berangkat dari rumah pukul 08. 30. Karena tempatnya tidak terlalu jauh, jadi berangkatnya mepet. Sampai di tempat, ternyata banyak juga yang baru berdatangan. Kami langsung menuju ke Aula, mengisi absensi terlebih dahulu, dan mencari tempat duduk. Kebetulan beberapa teman sudah duduk di bangku paling depan, kamipun menyusul mereka untuk duduk di sebelahnya.



Acara dimulai masih beberapa menit kemudian, jadi harus menunggu. Para hadirin sepertinya juga masih belum datang semua, banyak kursi yang belum terisi. Setelah para nara sumber, mulai memasuki ruangan, acarapun segera dimulai. MC membuka acara dan memandu setiap rangkaian kegiatan, dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, menyanyikan lagu Indonesia Raya disusul lagu mars, sambutan oleh ketua PCNU Tulunggaung, ditutup dengan Do’a, dan acara yang terakhir adalah bedah buku.



Dalam sambutanya, ketua PCNU Tulungagung, KH. Hakim menyampaikan beberapa hal penting yang berhasil saya serap. Berbicara tentang Islam Nusantara, beliau menyampaikan bahwa hal itu bagi kita, terutama warga NU terutama kalangan pemuda yang mengaku sebagai penerus perjuangan Nahdatul Ulama harus menyambut dengan gegap gempita dengan adanya ini. Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan bedah buku ini diharapkan akan lebih menambah pengertian bagi kita, sehingga kita lebih kuat untuk menjaga NU dan NKRI kedepannya.



Kalangan umum dengan berbagai latar belakang, pada hari itu hadir dalam acara bedah buku ini. Meskipun yang datang tidak sesuai dengan harapan, bahwa kursi yang disediakan panitia akan penuh, namun sepertinya tidak menyurutkan semangat para hadirin untuk menyimak dengan khidmat penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Zainul Milal Bizawie dan Dr. Ngainun Naim, berkaitan dengan Islam Nusantara sendiri maupun kaitanya tentang buku masterpiece Islam Nusantara. Terlihat, banyak juga para hadirin yang mempunyai buku dengan ketebalan luar biasa itu dan disimaknya saat acara bedah buku berlangsung.



Dengan dipandu oleh moderator Bapak. Moh. Kholid Tohiri, M.Pd., acara bedah buku dimulai. Kesempatan pertama diberikan kepada Bapak. Milal selalu penulis buku masterpiece Islam Nusantara untuk memberikan pengantar dalam acara bedah buku ini. Ternyata beliau dalam memberikan penjelasan juga sangat gamblang. Penyampaiannya tidak terlalu cepat, Bahasanya mengalir dan mudah dipahami, sehingga apa yang beliau sampaikan sangat mudah diterima.



Dr. Zainul Milal Bizawie menegaskan bahwa buku yang ditulisnya tersebut tidak menjelaskan tentang Islam Nusantara secara istilahi atau secara konsep, namun penulis ingin mengetengahkan bahwa Islam di Nusantara itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Meskipun NU berdiri tahun 1926, tapi sebenarnya para ulama-santri di negeri ini sudah lama ada untuk berjuang. Ulama-ulama luar biasa mulai wali songo berlanjut hingga beberapa abad kemudian berijtihad membangun bangsa, sehingga munculah bangsa yang bernama NKRI.



Benar sekali, ketika NU menggunakan semboyannya NKRI harga mati, karena memang Islam yang rahmatan lil alamin di Nusantara ini masterpiece-nya NKRI itu sendiri. NKRI sebagai sebuah karya besar yang harus kita lestarikan. Jadi, dengan semboyan tersebut menunjukkan bahwa Islam rahmatan lil alamin sangat berkomitmen untuk menjaga keutuhan negara yang telah diperjuangkan tersebut.



Merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Pesan yang terselip di dalamnya adalah hanya dengan rahmat Allah, kemerdekaan itu menjadi ada. Kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian siapa-siapa, bukan pemberian dari komunis, bukan pemberian dari sosialis, bukan pemberian dari liberal, namun karena buah dari perjuangan anti-kolonialisme yang panjang dan buah dari Ijtihad keislaman dan Indonesia tercinta ini sebagai wujud mahakaryanya. Maka dari itu menjadi tugas kita semua sebagai umat muslim untuk menjaga dan melestarikan sebuah karya besar tersebut, yaitu NKRI.



Peran serta ulama di Indonesia memang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia, namun dalam sejarahnya peran-serta ulama tersebut banyak yang dihapuskan. Belanda tidak pernah rela Indonesia ini merdeka. Oleh karena itu, walaupun tahun 1949 pernah terjadi pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, namun dalam sejarahnya banyak yang dihapus, banyak yang dikekang. Itulah mengapa banyak konflik terjadi. Bahkan ketika para ulama berjuang untuk Indonesia, munculah kejadian pada tahun 1948 yang dikenal dengan peristiwa Madiun. Hal itu merupakan sebuah akal-akalan Belanda untuk melemahkan pejuang-pejuang di Nusantara ini.



Dr. Zainul Milal Bizawie menyebutkan diantara tokoh ulama pejuang dari Tulungagung, seperti KH. Abdul Fattah, Kyai. Mustaqim (PETA), dll. Mereka merupakan diatara para ulama yang turut berjuang pada era kemerdekaan. Namun sebenarnya jauh sebelumnya (sebelum kemerdekaan) masih banyak ulama-ulama Tulungagung juga terus berjuang. Jadi dalam hal ini kemerdekaan NKRI juga tidak terlepas dari kiprah besar para ulama-ulama Tulungagung juga.



Buku “Masterpiece Islam Nusantara” mengisahkan jejaring ulama-santri dalam melakukan perjuangan kemerdekaan NKRI yang dimulai dari tahun 1830-1945. Dalam artian, perjuangan dalam satu abad tersebut para ulama, dari generasi ke generasi selanjutnya terus berjuang meskipun waktu itu banyak sekali rintangan yang harus dihadapi, tetapi para ulama di berbagai daerah tetap melakukan perjuangan.



Mengapa Islam di Nusantara ini sangat penting? Dr. Milal dengan gamblang memberikan penjelasan tentang pentingnya Islam Nusantara. Mengingat kondisi dunia Islam saat ini yang dipenuhi dengan informasi-informasi tentang ISIS, tentang kelompok-kelompok Islam yang radikal di Timur-Tengah, oleh karena itu maha pentingnya Islam Nusantara ini sebagai sebuah identitas agar bisa menjadi alternatif bahwa ada Islam yang damai, ada Islam yang rahmat, ada islam yang toleransi di negeri ini.



Sebenarnya Islam di Nusantara ini juga sudah pernah dinyatakan oleh Rosulullah. Beliau pernah menyatakan bahwa aka nada seorang panglima paling besar, paling hebat sepanjang zaman. Siapa panglima itu? Dia adalah sang penakluk konstantinopel, yaitu Muhammad Al-Fatih. Saat itu, beliau telah mengirimkan ulama-ulama yang kemudian menjadi Wali Songo. Usaha Al-Fatih selama berabad-abad dalam mengirimkan para ulama ke Nusantara itu berhasil melahirkan apa yang disebut dengan Nahdatul Ulama (NU). Sehingga dalam hal ini NU adalah sebuah impian Rasulullahyangi punya pengaruh luar biasa hingga saat ini.



Sekali lagi, Dr. Milal menyampaikan bahwa maksud dari buku ini adalah ingin memberikan sebuah gambaran bahwa islam di Nusantara ini adalah Islam yang sudah matang, sudah tahan banting menghadapi siapapun demi menegakkan Islam di Nusantara ini. Untuk itu, kita harus mensyukuri dan harus menjaganya dengan baik-baik bahwa Islamnya NU, Islam di Nusantara ini sudah jelas bahwa musanadnya ada pada Rasulullahah, bukan islam yang liberal atau bukan islam yang lain-lain. Islam Nusantara itu adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang harus terus diperjuangkan.



Berikut giliran Bapak. Ngainun Naim selaku pembanding dalam acara bedah buku ini. Karena waktu yang diberikan sangat terbatas, yaitu hanya 15 menit saja, jadi tidak mungkin cukup untuk membahas isi buku yang ketebalannya luar biasa ini. Sehingga jika ingin mengetahui isi buku lebih jauh, alternatif terbaiknya adalah dengan membacanya. Beliau menyampaikan bahwa buku ini sangat berbobot. Bukan hanya berbobot karena ketebalannya, namun memang berbobot dalam arti bermutu. Menurut hitungan sederhana beliau, jika dalam satu hari menulis 3-4 halaman, maka menulis buku ini bisa memakan waktu minimal satu tahun, belum termasuk risetnya.



Meskipun sebenarnya buku ini buku ilmiah, namun ditulis secara popular. Tidak seperti layaknya buku ilmiah pada umumnya, yang penuh dengan foot note, bahasanya sulit dipahami, bahkan termasuk yang nulis sendiri bisa jadi sulit memahaminya. Tetapi buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, santai, mengalir seperti cerita dan akan lancar memahaminya (tidak perlu mengrenyitkan dahi). Ketika kita bisa membaca buku ini dengan santai, bisa menghayati tanpa penuh keterpaksaan, maka akan banyak sekali khasanah-khasanah, warisan-warisan sejarah yang dimunculkan. Ini menandakan bahwa penulis bekerja sebagai antropolog dan sejarawan yang serius.

Sebagai pembanding, beliau juga membandingkan buku tersebut dengan buku-buku yang bertajuk sama, khususnya Buku tentang Islam Nusantara yang pernah dibaca. Pertama Bapak. Ngainun Naim menyampaikan bahwa sebenarnya istilah Islam Nusantara bukan istilah baru. Di dunia wacana, sebuah istilah itu bisa menjadi sangat terkenal karena momentum atau kesempatan. Bahkan suadah ada juga buku yang berkaitan tentang lslam Nusantara jauh sebelum Islam Nusantara menjadi wacana yang ramai di perbincangkan menjelang mukhtamar NU pada Bulan Agustus 2015.



Buku-buku tersebut diantaranya; Buku Islam Nusantara karya Prof. Dr. Azyumardi Azra (Mizan: 2002), buku Islam Nusantara karya Nor. Huda (Ar-ruzz media: 20017, buku ) buku Fajar Baru islam Indonesia: Kajian komprehensif atas arus sejarah dan intelektual Islam Nusantara karya Prof. Dr. Mujamil Qomar. M. Ag (Mizan: 2012), Buku Islam Nusantara dari Ushul Fiqih Hingga Paham Kebangsaan karya Akhmad Sahal dan Munawwir (Mizan: 2015), Buku Arkeologi islam nusantara karya Uka Tjandrasasmita (Kompas: 20019), dan Buku Mabadi Asyrah Islam Nusantara karya Faris khoirul Anam. 

Diantara keenam buku yang beliau miliki tersebut, diakui bahwa buku Masterpiece Islam Nusantara inilah yang paling bagus. Sambil sedikit melucu, bahwa katanya membahagiakan orang lain dengan memuji bukunya bisa mendapat pahala.



Memang dari keenam buku tersebut, Bapak. Ngainun Naim bisa membeberkan satu per satu kelemahannya. Ada yang pembahasanya tidak sistematis, kurang laris, bahasanya sulit dipahami, tidak terlalu banyak diminati oleh kalangan NU karena buku membahas aspek pemikiran atau intelektual, ada salah satu buku tersebut yang penerbitanya dilakukan secara terpaksa karena mengejar mukhtamar sehingga ada banyak salah ketik, dsb.



Mengacu pada aspek substansi yang kebetulan dijelaskan dalam buku karya Dr. Milal ini, bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan Nilai-nilai tradisi lokal , budaya, dan adat-istiadat di tanah air. Setelah beliau mencoba renungkan, pengertian tersebut lebih cenderung pada Islam Nusantara, bukan Islam Indonesia.



Hal ini berbeda dengan pengertian Islam Nusantara yang diungkapkan dalam bukunya Prof. Azyumardi Azra yang mengacu pada aspek geografi (bukan substansi ) bahwa wilayah Nusantara adalah gugusan kepulauanyang mencakup Indonesia, wilayah muslim Malaysia, Wilayah Muslim Singapura, Thailand Selatan (Pattani), Filiphina Selatan, dan Kamboja. Jadi, tidak hanya Indonesia saja yang menjadi wilayah Nusantara. Wilayah tersebut disebut wilayah Nusantara karena ada kesamaan teologis, ideologis, dan juga kesamaan pemahaman agama.



Dalam kesempatan ini Bapak. Ngainun Naim juga mengambil poin penting dari buku ini terkait dengan Islam Nusantara. Karakteristik Islam Nusantara menurut bukunya Dr. Zainul Milal Bizawi adalah Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan. Itulah yang dinamakan Islam Rahmatan Lil Alamin yang sesunggguhnya.



Bapak. Ngainun Naim juga menyampaikan bahwa istimewanya buku ini karena fokus pada jejaring, dimana belum pernah ditemukan pada kajian-kajian sebelumnya. Mulai dari tahun 1830 sampai 1945, penulis bisa merunut jejaring para ulama yang berkiprah dalam memperjuangkan Islam Nusantara hingga 115 tahun adalah sesuatu yang luar biasa. Judul buku ini juga tergolong istimewa dan top “Masterpiece Islam Nusantara.”



Dilihat dari aspek pembahasanya, beliau menyampaikan beberapa catatan penting. Pertama, penulis buku ini mengangkat aspek yang selama ini belum pernah diungkap, yaitu aspek penelitian, aspek yang biasa, yang kurang dianggap penting oleh orang lain, namun penulis bisa melakukannya adalah keistimewaan tersendiri. Sehingga buku ini akan mampu menyempurnakan kajian-kajian sebelumnya.



Kedua, Buku ini juga istimewa karena lebih banyak berbicara tentang data. Namun sayangnya aspek metodologinya belum begitu nampak, sehingga akan lebih bagus kalau aspek metodologinya juga diperkuat.



Ketiga, buku ini obyek kajiannya terkonsentrasi pada tokoh-tokoh besar yang memiliki andil dalam narasi besar. Padahal, di setiap daerah, seperti di Tulungagung banyak sekali tokoh yang berkontribusi besar namun tidak pernah terekam oleh sejarah. Dalam artian, selain narasi besar yang dijadikan obyek kajian, juga penting sekali untuk mengangkat narasi-narasi kecil yang selama ini tidak pernah diketahui.



Kebanyakan dari kita hanya tahu tokoh-tokoh ulama di Tulungagung lewat makamnya saja, sering ziarah, namun bagaimana narasi lengkapnnya tidak pernah diketahui, apa kontribusi beliau terhadap Islam di Tulungagung tidak terungkap. Maka penting kiranya untuk mengkaji lebih jauh narasi kecil yang selama ini masih belum dikaji tersebut.



Lima belas menit sudah, waktu selanjutnya diberikan kepada pada penanya. Karena waktu dibatasi, jadi hanya penanya yang beruntung saja yang mendapatkan kesempatan. Dalam sesi pertanyaan ini, terlalu tinggi bagi saya menangkap apa yang ditanyakan oleh mereka, namun saya masih berusaha untuk menyimak secara khidmat. 


Sebagai penutup, ditegaskan lagi bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah hal baru. Sudah lama sebelumnya, para santri-ulama di Nusantara ini berkontribusi untuk melahirkan sebuah karya besar, yaitu NKRI. Sayangnya sebuah pencapaian besar para ulama-santri tersebut banyak yang tidak diabadikan dalam tulisan, sehingga jika ingin mencari bukti nyata kiprahnya membangun bangsa ini akan sulit.



Mengkaji sejarah, seperti apa yang dilakukan oleh Dr. Zainul Milal Bizawie ini sangat penting. Segala sesuatunya sangat penting untuk diabadikan dalam sebuah tulisan, sehingga bisa bertahan hingga akhir jaman.



Mengikuti acara ini tentunya banyak sekali hal-hal baru yang saya dapatkan. Belum lagi jika berkesempatan untuk menyelami samudera aksara yang ada dalam buku Masterpiece Islam Nusantara ini.

 Sesi bedah buku Masterpiece Islam Nusantara

 Foto bersama

Bersama buku Masterpiece Islam Nusantara

Tulungagung, 06-07 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...