Selasa, 21 Juli 2015

Sudah Kuliah Kok Masih Mulai Belajar (Membaca dan Menulis)

          Dalam buku geliat literasi ada banyak teman-teman yang telah menceritakan tentang kisahnya dalam menulis, sangat variatif ceritannya. Mereka tak enggan untuk menuliskan pengalaman menulisnya, dan sebagian dari mereka membagikan pengetahuan tentang hal ikhwal dunia literasi yang tentunya sangat bermanfa’at.  Ketika membaca satu per satu dari tulisan yang mereka tulis dalam buku tersebut, entah kenapa tangan saya begitu keri gatal juga untuk segera pencet-pencet tombol keyboard  menuliskan cerita dibalik kemauan saya belajar membaca & menulis. Waktu menulis essay tentang geliat literasi kemarin sebenarnya saya juga ingin menuliskan tentang kisah saya dalam menulis , tapi entah kenapa rasa malu membuat saya enggan untuk menuliskannya, masak sudah kuliah masih baru memulai belajar membaca dan menulis, malu donk …
          Sama halnya seperti apa yang di tuliskan oleh beberapa teman di buku geliat literasi bahwa motivasi-motivasi tentang dunia baca-tulis yang telah ia peroleh ketika di ajar oleh Pak. Ngainun Naim  telah menjadi faktor pemicu munculnya greget dia untuk belajar membaca & menulis. Saya juga memberanikan untuk mau belajar literasi ini karena berkat motivasi dan inspirasi dari beliau. Mantrannya begitu ampuh, mampu menghipnotis sang pemalas ini menjadi semangat untuk belajar membaca & menulis. Saya yang notabene orang yang tidak menyukai literasi, terasa menjadi berkah yang luar biasa ketika selama satu semester bisa diajar beliau.
Memang selama menempuh jenjang pendidikan, membaca dan menulis tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi saya, keduannya telah menjadi aktivitas wajib yang harus kami lakukan agar proses belajar bisa berjalan lancar, berarti sudah lama donk saya bergelut di dunia ini?... lantas kenapa hal ini tidak mampu menambah kecintaan saya terhadap dunia mambaca dan menulis ?.
Alkisah, ketika selama mengenyam pendidikan, mulai dari SD, SMP, dan SMA, membaca dan menulis bukanlah kegiatan yang menghibur dan menyenangkan seperti apa telah saya rasakan saat ini, tetapi sebaliknya. Berkaitan dengan membaca, dalam buku “The Power of Reading” ada beberapa yang menjadi peyebab tidak menariknya minat membaca, salah satunya adalah mitos. Saya begitu menikmati ketika membaca yang bagian mitos ini, ada 4 mitos tentang membaca yang penulis sebutkan, diantaranya membaca itu hanya milik orang yang berpendidikan tinggi, membaca itu bikin sumpek, membaca hanya membuang-buang waktu dan tenaga, dan membaca itu membikin ngantuk. Mitos-mitos ini memang yang sempat hinggap dalam relung jiwa saya ketika di hadapkan dengan aktivitas membaca sehingga saat di hadapkan dengan kegiatan membaca yang ada hanyalah beban berat, karena dilakukan bukan karena kesadaran.
 Saya sangat setuju juga ketika dalam bukunya,  Pak. Ngainun Naim mengutip dari salah satu buku tentang membaca bahwa rendah atau tidak adannya minat baca itu ada beberapa penyebabnya, yang pertama adalah kondisi warisan dari orang tua. Penyebab yang satu ini berpeluang besar menjadikan saya memiliki kemauan untuk membaca yang rendah. Kedua orang tua saya bukan orang yang berlatang belakang suka dengan membaca, jadi wajar kirannya jika mereka tidak mengenal buku lebih jauh, seperti halnya berlangganan Koran atau majalah, membeli buku-buku atau yang lain.
Salah satu cita-cita mulia kedua orang tua adalah menginginkan anak-anaknya bisa menganyam pendidikan tinggi, tidak seperti orang tuannya, sehingga semampunya selalu memberikan support kepada saya, terutama yang berkaitan dengan sekolah saya, salah satunya adalah menyuruh untuk membaca. Meskipun mereka bukanlah orang yang suka membaca, tapi kiranya kegiatan membaca bukanlah sesuatu yang tabu bagi mereka.  Namun sayangnya, mereka memandang bahwa membaca itu adalah belajar terhadap pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan cara membaca, tidak lebih. Mereka belum tahu selangkah lebih jauh jika membaca buku selain pelajaran juga bisa memberikan manfa’at yang besar. Ingat sekali ketika saya masih SD, orang tua, terutama bapak selalu telaten mengingatkan saya untuk belajar dengan menyuruhku untuk membaca. Apalagi saat mau ulangan semester, membaca dan menghafal adalah kegiatan wajib yang harus saya lakukan, tak jarang ia mengetest kemampuan saya dengan membacakan soal-soal yang ada di buku, sementara saya harus menjawabnya. Sudah jelas, membaca yang telah saya lakukan tersebut adalah sebuah tuntutan, sehingga dengan terpaksa membaca harus saya lakoni untuk tujuan tertentu. Karena dilakukan dengan terpaksa, membaca jelas bahwa bukanlah sesuatu yang meyenangkan, malah mitos-mitos membaca diatas yang tumbuh dalam pikiran saya. Itu tadi sedikit pembeberan mengenai faktor penyebab rendahnya minat baca yang pertama yaitu kondisi warisan dari orang tua (Determinisme Genetis). Karena dari orang tua yang tidak suka membaca, dan juga tidak tahu menahu tentang perbukuan , maka saya maklumi jika mereka tidak mewarisi kebiasaan membaca kepada saya.
Faktor yang kedua adalah tidak senang membaca karena memang sejak kecil di besarkan oleh orang tua yang tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan. Faktor ini juga sesuai dengan keadaan saya. Karena keterbatasan mereka terhadap dunia perbukuan membuat mereka jarang menyuguhkan bahan bacaan pada saya, sehingga membaca saya hanya sebatas pada buku pelajaran yang telah di berikan dari sekolah. Itupun akan saya baca dengan baik manakala berkaitan dengan pelajaran yang saya suka, kalau tidak suka ya malas membacanya. Bukan hanya orang tua saja yang tidak meyuguhkan bahan bacaan, ketika saya SD, waktu itu sekolah juga tidak menyediakan perpustakaan, sehingga selama sekolah 6 tahun di bangku SD, sama sekali belum bersentuhan dengan buku bacaan non-pengetahuan. Buku pengetahuan saja seingat saya masih minim, sekolah belum menyediakan buka penunjang yang memadai. Pernah suatu hanya saya sangat pengen punya buka pedoman seperti yang guru saya punya, yaitu buku matematika, kalau tidak salah saya sudah kelas 5. Setiap hari beliau mengajarkan matematika dengan menggunakan buku itu, pengen sekali buku tersebut saya bawa pulang, pengen saya baca di rumah. Karena saya tahu bukunya di tinggal di laci meja meja guru, saya ambil buku tersebut tanpa sepengetahuannya. Esok harinya, saat mengajar ternyata beliau masih punya buku yang sama, berarti aman, bukunya tidak di cari. Buku paket matematika itu selalu saya baca untuk saya pelajari. Jarang buku itu saya bawa ke sekolah karena takut ketahuan. Ma’afkan saya pak, he e, tidak sia-sia kok pak bukunya saya ambil, karena di rumah saya baca.
    Ketika menginjak bangku SMP dan SMA aktivitas membaca saya masih saja sebatas agar bisa menguasai pelajaran yang di ajarkan oleh bapak-ibu guru. Sekolah sebenarnya sudah meyediakan perpustakaan, tapi sayangnya hanya kami gunakan untuk sebatas mencari referensi dari tugas yang guru berikan, tidak lebih.  Masih saja dalam mindset saya sampai saat itu membaca adalah proses belajar agar bisa menguasai dengan baik pelajaran yang diajarkan di sekolah, buku selain pelajaran yang diajarkan di sekolah tidaklah penting. Akhirnya enggan untuk membaca buku-buku selain pengetahuan.
 Tidak seperti di SD, di SMP dan SMA buku penunjang mata pelajaran sudah mendukung, sehendaknya bahan bacaan semakin bertambah. Tapi perannya masih sama, jika pelajaran saya suka membaca buku-buku yang terkait dengan pelajaran itu menjadi sebuah keharusan bagi saya, tapi kalau di hadapkan dengan bacaan-bacaan pada mata pelajaran yang saya kurang menyukainya, mambaca hanyalah menjadi sebuah beban. Sampai detik ini, kiranya jelas kalau minat membaca saya masih sangat rendah.
Di bangku kuliah, saya begitu kaget karena buku-buku yang tersedia di perpustakaan tidak sesuai dengan nama mata kuliah yang di pelajaran, jadi jika ingin mencari referensi, harus mencari buku-buku yang isinya relevan dengan topic yang di bahas. Sebenarnya ini telah memberikan peluang untuk membaca dengan baik, tapi karena berkaitan dengan tuntutan, tetap saja membaca bukanlah kegiatan yang menyenangkan dan menghibur. Sebenarnya, berbagai jenis buku pengetahuan dan non-pengetahuan telah tersedia lengkap di perpustakaan, tinggal memilih buku mana saja yang ingin dibaca. Karena pikiran sudah terbebani saat di hadapkan dengan bacaan, maka buku-buku tersebut tidak berpengaruh terhadap minat baca saya.
Pada saat semester 2, saya ingat sekali bahwa salah satu dosen reading saya memberikan treatment tentang membaca yang cukup amazing. Meningkatkan kebiasaan membaca kami dengan meminta kami merutinkan membaca selama 21 hari, namanya adalah “21-day program to build the reading habit”. Sebagai bukti kita benar-benar membaca atau tidak, beliau memberikan format laporannya kepada kami (reading log), jadi setiap hari selama 21 hari itu harus menuliskan laporannya terhadap bacaan yang telah di baca. Kami bebas memilih bacaan-nya, sesuka hati. Setelah membaca, saya harus menuliskan laporan membaca saya, mulai dari tanggal membaca, bacaan yang dibaca, hasil membaca, dan kata-kata sulit. Sebagai orang yang tidak hobi membaca, tugas seperti ini terasa sangat berat. Karena lagi-lagi berkeinginan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam mata kuliah ini, membaca selama 20 menit sampai 30 menit tetap saya lakukan. Waktu tersebut  tidak lah lama, karena selain membaca, saya juga harus memahami bacaan tersebut, misalnya dengan cara menterjemahkan kata-kata sulit. 21 hari bukanlah waktu yang singkat untuk melatih kebiasaan membaca. Memang selama 21 hari tersebut, saya sangat antusias untuk mencari bahan bacaan yang akan saya baca, tapi setelah tugas ini selesai rasanya lega, karena sudah tak ada beban untuk membaca lagi. Entah apa yang menjadi penyebabnya, saya masih belum juga sadar akan kebiasaan membaca, sehingga setelah tugas ini selesai masih saja kegiatan membaca masih berat untuk saya lakoni setiap harinya.
Faktor penyebab rendahnya minat baca yang terakhir adalah determinisme lingkungan, seseorang tidak senang membaca karena atasan atau bawahan, teman-teman, dan guru atau dosen tidak senang membaca. Saya sangat yakin jika banyak guru-guru saya mulai SD hingga di bangku kuliah yang suka membaca. Mereka adalah orang-orang yang hebat, sehingga sepertinya buku-buku menjadi andalan setiap harinya. Sayangnya kami jarang mendapatkan menu yang special berkaitan dengan membaca dari mereka. Jarang sekali mareka mengemas kegiatan membaca itu sebagai kegiatan yang menarik dan menyenangkan, jarang bahkan tidak ada dari mereka yang memberikan inspirasi dan motivasi secara khusus. Sehingga kami pun hanya tertarik dengan membaca pada saat tertentu saja, misalnya untuk mengerjakan tugas, mau ujian, dll.
Berdasarkan cerita tersebut, bisa di simpulkan bahwa selama ini membaca, saya lakukan dengan terpaksa. Meminjam istilah salah satu dosen bahasa inggris saya yang telah menulis di buku geliat literasi, beliau menamai membaca jenis ini sebagai “membaca darurat”, sebuah keadaan dimana seseorang harus membaca karena terpaksa atau dipaksa untuk membaca, bukan karena kebutuhan, keinginan, atau ketertarikan.
Semangat membaca saya muncul ketika salah seorang dosen saya yang penuh inspiratif menyuguhkan menu membaca ini dengan sesuatu yang menarik, sehingga sayapun tertarik untuk mencobannya. Inspirasi dan motivasinnya membuat saya terinspirasi untuk mengikutinya. Sampai saat ini saya masih berusaha memaksakan diri saya untuk meningkatkan kebiasaan membaca saya. Buku-buku yang sekirannya menarik minat saya untuk dibaca, langsung saja saya beli, meskipun belum tentu juga saya baca. Tapi jika sudah ada bukunnya, setidaknya kemauan untuk membaca sudah ada.
Huh, menghela nafas sejenak sebelum cerita saya berlanjut mengenai menulis. Berkaitan dengan menulis, sudah bisa di tebak. Membaca yang hanya duduk sambil memegang buku saya, saya anggap menjadi sebuah beban dan paksaan, apalagi menulis yang membutuhkan proses berfikir untuk menghasilkan ide dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Saya tidak suka menulis karena selain tidak hobi, juga karena menulis itu membikin bingung dan stress. Yang saya kenal menulis itu adalah seperti kegiatan memindahkan catatan, mengarang, menulis tugas sekolah, dan sejenisnya, sehingga kesannya tak ada asyik-asyiknya. Ketertarikan saya dengan dunia menulis, juga berawal dari motivasi dan inspirasi tentang dunia menulis yang selalu Pak. Naim serukan. Sebagai seorang yang sangat hobi dengan dunia menulis, kelihatannya dengan menulis akan terasa indah segala sesuatunya. Selain karena motivasi dan cerita inspiratifnya berkaitan dengan menulis, juga karena konsistennya dalam menulis. Setiap hari catatannya membuat diri saya tergugah untuk ikut juga menulis.
Blog telah menjadi media favorit saya untuk menulis. Entah kenapa ada rasa kepuasan tersendiri saat saya bisa memposting tulisan yang telah saya buat. Pernah suatu ketika saya iseng dengan menulis di pencarian google dengan kata kunci yang sesuai dengan tulisan saya, dan saat itu munculah tulisan saya, rasanya senang sekali … semoga ada orang yang tertarik dan penasaran untuk membukannya sehingga bisa bermanfaat bagi mereka, he e e meskipun saya akui masih jauh dari tulisan yang sebenarnya. Meskipun kadang keraguan untuk memposting tulisan masih sering saya rasakan, tapi tak apalah, kan masih belajar, tidak merugikan orang lain juga…. Yang penting kan nulis.
Meskipun belajar membaca dan menulis baru saja saya mulai dari bangku kuliah, bukan persoalan. Yang terpenting ada kemauan untuk belajar, kirannya belum terlambat. Wise man mengakatakan bahwa tanpa belajar tak kan ada perubahan, tanpa perubahan berarti mati. Untuk itu, sebelum terlambat, saya harus belajar (membaca dan menulis).
Happy Writing on Wednesday Morning

     T. Agung, 22 Juli 2015



         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...