Gara-gara
simbah, surat untuk pengajuan beasiswa saya hilang. Masih sangat kuat ingatanku
ketika meletakkan selembar kertas beramplop itu. Saya keluarkan dari tas lalu
saya taruh di atas tumpukan buku-buku paling atas agar esoknya saya bisa mudah
mencarinya. Saya juga menyesal kenapa tidak saya taruh di tas saja, toh juga
tidak berat-berat amat. Karena tas akan saya bawa keluar, ke rumah dosen saya
dan menginap, jadi saya putuskan untuk saya tinggal saja biar tidak lungset.
Selain ada suratnya, di
dalam amplop itu sebenarnya ada uang sebesar dua ratus ribu. Tetangga saya
minta tolong untuk mengasihkan uang itu ke anaknya, yang juga teman saya
kuliah. Mulai panic ketika teman saya mengirim SMS menanyakan uang titipan dari
bapaknya itu, ia akan mengambilnya segera. Waktu itu juga saya bergegas pulang
dari rumah dosen untuk mengambilkan uang untuk teman saya itu.
Saya
begitu panic ketika berkali-kali saya cari amplopnya tidak ada. Satu per satu
buku saya angkat berharap amplopnya terselip di salah satu buku itu. Tetap saja
tidak ada. Siapa lagi kalau bukan simbah yang menyembunyikan, padahal jelas-jelas
saya taruh amplopnya di situ. Soal surat pengajuan beasiswa belum saya pikir,
tapi masih soal uang yang dua ratus ribu itu, karena sebentar lagi teman saya
akan datang untuk mengambilnya.
Untungnya
masih ada uang lebih, jadi saya bisa mengganti uang teman saya itu. Yang
penting saya bisa mengasihkan uang titipan itu ke teman saya, anggap saja sudah
beres, insya’allah ikhlas. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, saya menyalahan
diri saya karena begitu ceroboh meletakkan tidak pada tempat yang jelas. Saya
anggap yang salah adalah simbah, karena telah menyembunyikan amplop itu.
Satu
persoalan sudah beres, tinggal surat dari desa untuk pengajuan besiswa itu yang
sangat saya sayangkan. Saya masih khusnudhon, jika besok pasti akan ketemu. Masih
ada waktu tiga hari untuk menantinya. Setiap hari saya mencarinya hingga hari
terakhir pengumpulan itu, tapi tetap saja belum ketemu. Hingga hari terakkhir
itu saya ingin memutuskan pulang kampung lagi untuk mengurus surat itu lagi ke
balai desa. Membayangkan 8 jam PP, membuatku enggan untuk berangkat. Berharap
di detik terakhir pengumpulan berkasnya, yiatu tanggal 30, jam 3 sore bisa ketemu. Jika surat ini hilang beneran, kasihan juga
Bapak. Saya yang meminta tolong bapak untuk memintakan surat ini ke balai desa,
dan ternyata sekarang surat itu entah kemana.
Tidak
salah kirannya jika saya harus memburu
beasiswa yang keluar setiap semester ini . Meskipun tidak seratus persen di
jamin bisa di terima, yang penting saya mengumpulkan berkas-berkasnya. Hingga
semester 6 kemarin, Alhamdulillah saya menjadi salah satu dari ratusan orang
yang terdaftar untuk mendapatkan besiswa tiap semester ini. SPP tiap
semesternya saya gunakan uang beasiswa itu. Tapi kesempatan untuk mendapatkan besiswa di
semester ini hangus sudah. Batas pengumpulan akhir sudah tanggal 30 kemarin,
dan sampai detik ini surat pengajuan besaiswa itu belum ketemu juga.
Semoga
Simbah membaca catatan kecilku ini, sehingga mau mengembalikan amplop itu, ada
jatah uang saku-ku selama sebulan
Simbah, Mohon untuk di kembalikan.
Tulunggagung,
5 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar