Buku
“Kadhung Kepencut” sudah saya ambil sejak beberapa hari yang lalu di
resepsionis kampus. Pas lewat depan resepsionis, saya lirik papan pengumuman
yang ternyata nama saya ada disana, artinya ada paket untuk saya ambil, itulah
buku kadhung kepencut yang saya pesan dari Bu. Eni sejak beberapa minggu
sebelumnya . Waktu itu kebetulan saya PP Trenggalek-Tulungagung karena ada
pertemuan dengan teman-teman KPL di kampus dengan dosen pembimbing. Segera saja
saya minta ke petugasnya untuk mengambilkan paketan tersebut. Seperti biasa,
sebelum barang diterima harus menyodorkan kartu mahasiswa terlebih dahulu dan
tanda tangan. Barang sudah bisa saya terima.
Perjalanan
pulang ke Trenggalek dengan membawa buku kadhung kepincut yang masih berbungkus
rapi. Karena belum Sholat Dhuhur, saya berhenti di salah satu SPBU yang ada di
Trenggalek untuk menunaian Sholat Dhuhur sembari istirahat sejenak. Melihat
buku kadhung kepencut yang masih
berbungkus, sudah tidak sabar untuk membukanya. Hanya sempat kubuka-buka saja
dan baca sekilas halaman awal-awal, karena waktu sudah menjelang sore dan saya
harus melanjutkan perjalanan panjang saya lagi yang masih sekitar tiga jam-an
dari tempat tersebut. Sekitar pukul 18. 00 baru sampai rumah dan disusul dengan
hujan. Beruntung sekali karena hujan sudah di rumah. Waktu itu saya lupa untuk
bawa jas hujan.
Di
temani hujan yang cukup deras dan malam yang menggelayut, mata saya masih
bening alias belum muncul tanda-tanda mengantuk. Di halaman rumah, pas Bapak
lagi lembur buat pagar bambu untuk dipasang di sawah. Awalnya saya hanya
iseng-iseng saja duduk di teras rumah melihat Bapak buat pagar Bambu sambil
nobrol-ngbrol ringan, saya buka-buka buku kadhung
kepincut. Belum ingin serius membacanya di malam itu, kan hanya iseng saja
sambil nogbrol ringan dengan Bapak.
Meresapi
dari bagian depan buku, seperti profil buku, dafar isi, atur tetepangan (profil), pengantar pembuka, dan juga termasuk
sinopsis, semakin merambah ke bagian isi. Dari hanya iseng menilik bagian depan
buku, akhirnya kepencut juga untuk menuju
bagian isi. Terbawa isi buku tersebut, obrolan saya dengan Bapak tiba-tiba
menghilang begitu saja. Bapak yang lagi serius membuat pagar bambu, sedangkan
saya yang tengah terjerumus dalam untaian kata indah berbahasa Jawa karangan
Bu. Eni itu. Sempat Bapak meminta
saya pindah ke dalam dan tidur, namun posisi saya sudah terlanjur uenak menyelami setiap bait cerita
nano-nano dalam kisah cerkak yang beliau tuliskan. Sepertinya saya juga lagi senang,
karena setelah sekian lama saya tidak bersentuhan dengan buku berbahasa Jawa.
Bagian
demi bagian saya telah resapi. Setengah buku dengan ketebalan hampir 100
halaman ini saya habiskan di malam itu, dan akan saya lanjutkan esok paginya. Benar,
esok paginya setelah Sholat Subuh, langsung kuambil buku itu dan membacanya,
selesai sekitar pukul 09. 30. Kalau saya sudah terlihat membaca buku, saya
tidak lagi disuruh-suruh untuk melakukan ini-itu, karena diangapnya saya tengah
belajar serius, he he. Tugas rumah
yang harus saya lakukan, saya tunda dulu di pagi itu, seperti menyapu, cuci
piring, dll. Membacanya serasa ingin lagi dan lagi karena penasaran dengan
variasi cerita yang dibuat.
Perlu
diketahui bahwa cerita-cerita dalam buku ini menarik sekali, selain Bahasa Jawa yang digunakan seperti bahasa ngoko yang biasa
dipakai sehari-hari, juga tajuk cerita tresna
yang sangat dramatis, serasa saya sedang menimati sinetron FTV saja, he he he.
Dalam
buku kadhung kepencut terdapat dua
belas variasi cerita cinta yang sangat menakjubkan. Dalam pengantarnya beliau
menjelaskan bawa kedua belas tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan yang sudah
pernah dipublikasikan di media massa yang dikumpulkan menjadi satu buku
kumpulan cerkak ini, utamanya di
majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat.
“Kaya kaajak mabur dhuwur ing telenging rasa”
cuplikan kata-kata yang saya ambil dari salah seorang yang menuliskan
endorsement dalam buku ini, dan itulah yang saya tengah saya rasakan ketika
menyelemi dan meresapi setiap jalan cerita. Emosi pembaca (bukan emosi yang
berarti marah) terbangun, menurut saya salah satu penyebabnya adalah penulis
memakai kata ganti orang pertama sebagai narator sekaligus pusat cerita. “Aku”
sebagai pemeran utama dalam cerita seolah-olah “aku” yang tengah ada dan
terlibat dalam cerita. Aku (pembaca) akan ikut sedih ketika tokoh “aku” sedang
mengalami kejadian yang membikinya sedih, atau sebaliknya, karena memang aku” tengah ada dalam cerita yang
menjadi pemeran utama. Pokoknya membaca cerita ini, pembaca seolah-olah bisa
merasakan emosi tokoh “aku” dalam cerita, baik haru, senang, sedih, dll. Begitulah aku merasakannya.
Dua
belas cerkak di buku ini memiliki
kekhasan tersendiri dalam setiap jalan cerita yang dibuat. Untuk
meresapi jalan cerita yang ada, saya telah memberikan catatan pemahaman di
dalamnya, baik dengan menggaris bawahi ungkapan-ungkapan tertentu, menandai
kata-kakata sulit, menuliskan tokoh dalam cerita, dll.
Judul
ke-dua belas cerita cinta berbahasa Jawa ini diantaranya, “Layang Kanggo Kancaku Lawas, April Mop, Ayahe Sadewo, Banjir Ing
Tengahe Banjir, Buta Kelangan Galake, Januari Telung Babak, Kadhung Kepincut,
Kejiret Tembang Lawas, Mancal ing Dalan Nggronjal, Nalika Atine Munting,
Nduwure Langit Ana Langit, dan Tangis
Desember.
Meresapi setiap jalan cerita dalam buku kadhung kepencut
Isi
cerita akan saya tuliskan di bagian (3)
wuah, aku pun ingiiin mampu nulis dlm bahasa Jawa
BalasHapus