Rabu, 08 Januari 2025

ANUGERAH, KEBAHAGIAAN, DAN HARAPAN

Perasaan bahagia bercampur kaget saat mengetahui bahwa kehamilanku yang sudah memasuki usia 8 minggu. Sedikit ada rasa tidak percaya karena anak pertama masih umur 3,5 tahun. Tapi aku harus bahagia, ada anugerah begitu indah yang Allah siapkan untuk kami. Perasaan bahagia itu juga hadir. Waktu itu aku sangat takut dimarahi setelah Ibuku tahu. Bukan dimarahi sebenarnya, sejenis diomeli. Ternyata tidak, karena keluarga dan saudara menerima kabar kehamilanku ini dengan senang. Alhamdulillah.

Seketika aku bergumam dalam hati, apakah aman aku hamil disaat sedang pengobatan benjolan tiroid di leherku. Penyebab sakitku ini karena hormon dalam tubuhku yang berlebih, yang membuat proses metabolisme dalam tubuh bekerja dengan sangat cepat. Seringkali energiku seakan habis padahal aku sudah makan dalam porsi yang banyak, minum air putih juga sangat banyak. Tidak jarang di tengah aktivitas tiba-tiba aku merasakan lemas, deg-degan, ngantuk, berkeringat, dan perasaan tidak nyaman lainnya. 

Aku pun rutin sekali memeriksakan kehamilanku ke puskesmas dan juga dokter spesialis. Setiap kali periksa, aku sangat cemas. Takutnya kondisiku tidak baik-baik saja. Lagi-lagi aku aku harus bersyukur karena setelah melewati beberapa kali periksa ke dokter hasilnya baik. Hanya saja memang aku harus minum obat tiroid secara rutin agar hormon dalam tubuhku normal. Setiap periksa ke dokter, aku juga harus membawa hasil lab terbaru. 

“Ada Mba yang kondisinya sama, malah lebih parah, itu bisa lahiran normal.” Jelas Bu Dokter suatu hari saat periksa. 

Kata-kata beliau itu seakan menjadi senjata dan kekuatan bahwa aku baik-baik saja. 

Lain halnya ketika periksa ke bidan dan puskesmas setempat. Di posyandu desa, aku dimasukkan kategori kehamilan beresiko tinggi. Waladalah. Aku juga tidak komplain, dijalani saja. Malah dapat bantuan gizi tinggi dari desa setiap bulannya. Hehe. Tidak disangka. Pihak puskesmas memang bersikeras dan tidak menjamin kalau kondisi saya bisa lahiran normal. Dan harus pengawasan dokter spesialis. 

Aku harus fokus pada kondisi kehamilanku yang sebentar lagi HPL. Syukurlah tidak ada keluhan yang cukup mengkhawatirkan. Banyak yang bilang, aku hamil “ngebo”. Aku bisa tidur nyenyak dan makan enak saat hamil, semua makanan aku suka. Sebenarnya tidak jarang aku merasakan mual. Anehnya aku merasakan mual ketika lapar saja. Kok bisa ya hehe. Setelah makan, tidak mual lagi.

HPL telah tiba. Persalinanku tinggal menunggu hari, pagi, sore, atau malam. Selama masih kuat, aku melakukan kegiatan seperti biasanya. Hari-hari itu memang tidak nyaman, perut kenceng, kaki bengkak, dll. Capek juga, karena bolak-bolak harus ke kamar mandi. Khawatir juga kalau tiba-tiba ada flek yang berarti tanda-tanda mau melahirkan sudah ada.

Dua hari sebelum persalinan saya ke Bidan desa, sebenarnya sudah muncul kontraksi, tapi setelah dicek belum ada pembukaan. Beliau menyarankan kalau secepatnya harus minta rujukan dan segera ke RSUD di Trenggalek. Yang menjadi catatan beliau kalau riwayat kehamilanku beresiko tinggi. Padahalan menurut dokter baik-baik saja. Esok harinya, komunikasi aku sambung melalui chat WA, panjang lebar aku ceritakan, siapa tahu ada solusi yang lebih menenangkan. Untungnya suamiku tidak begitu gupuh yang mengharuskan saat itu juga harus berangkat. 

“Pak, opo aku wes arep lahiran yo” Jelasku kepada suami esok harinya. Hari itu Sabtu, 6 Januari 2024. Suami waktu itu berangkat pagi sekali ke sawah, karena kebetulan Sabtu libur, tidak bekerja. 

Masih ingat sekali, waktu itu kemarau sangat panjang, tapi sudah tiba musim tanam padi. Banyak sekali tetangga yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk mengairi sawah karena kekeringan. Suami sudah 3 kali menyemai benih padi, tapi gagal tumbuh. Padahal setiap hari disiram. Ketiga kalinya, sebenarnya berhasil. Tapi, disaat petani yang lainya menanam padi, benihnya belum bisa ditanam. Akhirnya benih padi yang baru disemai beberapa hari itu sengaja dicangkul dan diratakan. Esok harinya sudah harus menanam padi mengikuti yang lain. Itulah kenapa sumi hari itu sangat capek, berangkat pagi sekali dan pulang menjelang maghrib untuk minta benih padi yang tumbuh subur di beberapa tempat. Tempatnya lumayan jauh. Katanya perlu beberapa karung benih padi. Mengangkut tanaman yang masih bercampur lumpur, lalu meratakan ke sawah. Wajar saja hari itu ia sangat lelah. Esok hari padi pun siap ditanam.

Di saat beliau capek, seharian bekerja sangat berat. Aku merasakan kontraksi di sore hari. Aku masih berusaha tenang. Kalau saya panik, suami juga akan panik, kasihan sekali ia belum istirahat. Dalam bayanganku, kalau benar-benar dirujuk ke Trenggalek yang harus naik ambulan dengan jarak yang jauh. Seperti waktu melahirkan anak pertama. Apalagi, kontraksi sudah semakin sakit. Bakalan repot kalau seandainya yang sakit malah suamiku. Belum lagi aku belum telpon Ibuku, yang pasti datangnya beberapa jam kemudian setelah ditelpon. Tenang…..tenang.

Malam itu, suamiku istirahat dan ia tidur lebih awal karena kecapekan. Aku berusaha tenang dan masih menikmati kontraksi palsu. Aku masih kuat ke kamar mandi. Meskipun sudah merasakan kontraksi beberapa menit sekali, belum juga keluar flek. Masih aman, gumamku. Semakin malam kontraksi semakin sering, dan semakin sakit. Belum juga aku membangunkan suamiku. 

Aku memang lebih tenang dan tidak panik pada kehamilanku ini. Membayangkan waktu melahirkan anak pertama, kontraksi di rumah sakit itu tidak nyaman sama sekali, apalagi kalau proses persalinan masih lama, beberapa jam kemudian. Padahal sakitnya sudah hebat. Bed untuk persalinan juga sangat sempit, tidak bisa bebas bergerak. 

Karena sudah merasakan kontraksi yang semakin sering, akhirnya aku membangunkan suamiku. Semoga istirahatnya sudah cukup. Sampi pukul 03.30 dini hari aku tidak bisa tidur karena kontraksi yang semakin sering. Tidak ada pilihan lagi selain segera berangkat ke rumah sakit. Aku sudah siap jiwa dan raga untuk melahirkan. 

Karena jaraknya dekat, aku hanya membawa selimut. Dibonceng naik motor masih aman-aman saja. Setelah sampai di rumah sakit, aku langsung turun dari sepeda dan bergegas ke resepsionis untuk melapor kalau mau melahirkan. Suamiku masih parkir sepeda.

“Yang mau melahirkan siapa, Bu?” Tanya petugasnya kebingungan.

“Kula, Bu” aku menjawab dengan nada lemas campur ngantuk. 

Aku diarahkan ke kamar bersalin untuk melakukan pemeriksaan awal. Ada dua bidan yang menangani. Nahasnya seorang bidan yang piket waktu itu sangat judes kataku. Apalagi setelah tahu aku punya riwayat penyakit tiroid. Beliau seakan bersikukuh kalau saya harus dirujuk. Waktu itu hari Minggu, Dokter yang bertugas tidak ada. Tidak hanya sakit yang aku rasakan tapi darah juga keluar. Semakin lama semakin banyak, dan semakin sakit. Sambil menunggu kepastian dokter. Suami diminta untuk merpersiapkan perlengkapan persalinan. Suami minta tolong salah satu saudara untuk mengantarkan. Setelah semua sudah siap, belum ada kepastian. Masih diminta menunggu. Kondisiku sempat difoto oleh salah seorang perawat untuk dikirimkan ke dokter. 

Waktu terasa sangat lama, beberapa kali aku bertanya ke suami jadi dirujuk atau tidak. Suami memintaku untuk tenang, tidak boleh panik, karena malah jadi beban pikiran yang pengaruhi proses persalinan. Benar sebenarnya. Benar-benar takut kalau memang harus dirujuk dengan kondisiku yang sudah menahan sakit luar biasa, naik ambulan dengan jarak yang sangat jauh. 

Hari sudah mulai pagi. Aku lihat jendela sudah tidak gelap lagi. Saat itu pukul 05.00. Dua bidan yang jaga memeriksa kondisiku. Aku sudah bisa menebak pasti beliau akan mengecek pembukaan, karena memakai sarung tangan. Jajur, aku paling tegang kalau udah periksa dalam begini. Horor banget deh pokoknya. Aku diminta tarik nafas dalam dalam, dan tangan bu bidan pun mulai meriksa pembukaan mulut rahim. Terlihat ada banyak darah yang keluar dan menempel di sarung tangan karet yang bu bidan pakai.

"Sudah pembukaan 4" terangnya.

Aku cukup lega meskipun masih sambil menahan kontraksi. Mulesnya sudah sangat kuat. 

Terus kepastiannya dokter bagaimana? Kamipun juga masih bingung. Sambil menunggu lagi, aku mengintip Bu Bidan yang sibuk mempersiapkan box bayi. Suami diminta meyiapkan segala peralatan persalinan sesuai dengan yang diintruksikan Bu Bidan. Ada perasaan lega dan bersyukur sekali, ternyata Dua Bidan yang hebat itu membantu persalinanku secara normal. Dua bidan yang bertugas pagi itu sangat sabar, tidak seperti malam harinya. 

Berterimakasih sekali kepada beliau berdua. Meskipun tanpa didampingi dokter, beliau sangat berani dan cekatan.

Perjuangan pun dimulai. Sebelumnya ada briefing dulu. Bu Bidan memposisikan tubuhku dengan benar, aku harus tarik nafas dalam, ketika mengejan bokong tidak boleh diangkat. Kontraksi sudah mulai hilang dan muncul lagi beberapa saat kemudian. 

Ketika kontraksi muncul, Bidan memberikan intruksi untuk segera mungkin mengejan dengan tenang. Selama proses persalinan, suami setia mendampingi di sebelah kiri. Aku memegang tangannya kuat-kuat setiap rasa nyeri muncul hebat. Setelah mengejan untuk kesekian kalian, aku berhasil melahirkan dengan normal pada pukul 09.00. Hal yang harus disyukuri karena bisa melahirkan di rumah sakit dekat rumah. Alhamdulillah.

“Wah, selamat ya Bu, bayinya laki-laki, sehat dan lengkap?” Kata Bu Bidan.

Tangisan bayi dalam ruangan bersalin telah mengubah segalanya, yang ada hanya perasaan bahagia dan bersyukur. Melihat wajah mungilnya seolah menghilangkan rasa sakit sebelumnya

Saat adik ditangani bidan untuk dibersihkan dan dibedong, aku masih harus melalui proses jahitan. Proses yang membuat kaki tegang dan area bawah nyeri luar biasa tanpa dibius. Seakan lebih lama dibanding proses lahiran.

Mencoba menerima rasa nyeri dan fokus pada adik bayi yang menempel di dada. Pelukan hangat yang menjadi obat segala rasa nyeri.

Beberapa jam sebelum melahirkan sebenarnya suami sudah menelpon Ibu untuk segera ke rumah sakit. Sampai saya melahirkan Ibuku belum juga datang, padahal jarak dari rumah ke rumah sakit kisaran satu jam. Alhasil, hanya suami yang menunggu selama proses persalinan. Benar kata suami, bukannya langsung berangkat, Ibuku malah merepotkan dirinya untuk memasak aneka rupa asupan untukku. Waladalah. Padahal kan sudah dapat jatah makan dari RS. Benar saja, beberapa jenis makanan dibawa di dalam tas yang cukup besar. Meskipun sedikit kesal, tapi aku sangat lahap makan masakan Ibuku. Makan banyak agar energiku pulih kembali.

Bayi yang lahir pada Hari Minggu, 7 Januari 2024 itu diberi nama Nahyan Tasbiha Dewantara. Kehadiranya menambah kesan harmonis keluarga kecil kami. Banyak sekali pelajaran hidup yang begitu berharga dari Adik, Kakak, dan juga suami. Lagi dan lagi aku harus bersyukur. 

Semoga mereka tumbuh dengan sehat dan bahagia, Amiin.





Panggul, 08 Januari 2025


ANUGERAH, KEBAHAGIAAN, DAN HARAPAN

Perasaan bahagia bercampur kaget saat mengetahui bahwa kehamilanku yang sudah memasuki usia 8 minggu. Sedikit ada rasa tidak percaya karena ...