BELAJAR
MENDIDIK KEPADA PAK GURU J. SUMARDIANTA
Oleh: Eka Sutarmi
Apakah kalian mengenal Pak guru hebat yang
satu ini, yaitu Pak J. Sumardianta? Yang selain guru hebat, beliau juga penulis
hebat. Beberapa bukunya diantaranya merefleksikan kepiawaian beliau menjadi
seorang pendidik yang istimewa. Saya mengenal Pak J. Sumardianta belum lama
ini. Pada 04 September 2016 saya berhasil mengabadikan inspirasi kepenulisan bersama
beliau saat acara bedah buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang” karyanya.
Saya dipertemukan kembali pada acara SLG
(Sekolah Literasi Gratis) di STKIP Ponorogo pada 12 Februari 2017. Waktu itu
kebetulan beliau menjadi moderator saat Pak Hernowo menjadi narasumber di acara
tersebut. Berkat pertemuan dengan Pak J, saya jadi berkesempatan membaca buku
beliau yang luar biasa, diantaranya mendidik pemenang bukan pecundang, habis
galau terbitlah move on, dan guru gokil murid unyu.
Sebagai seorang guru yang sudah berpuluhan
tahun mengajar, pastinya Pak J. Sumardianta sudah melalui proses yang panjang,
yang pada akhirnya beliau menjadi guru yang hebat. Beliau telah mampu
menjadikan anak didiknya menjadi pemenang. Hal ini telah beliau buktikan kala
mengajar para siswanya di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ya, Pak J adalah
seorang guru yang sangat piawai dalam membangun karakter murid-muridnya.
“Prinsip
saya dalam mengajar tidak hanya sekadar menjadikan siswa cerdas dan terampil.
Tetapi, tugas guru itu sebenarnya harus delivering
happiness, membuat murid bahagia. Kalau muridnya bahagia, mereka akan
menjadi orang yang berhasil. Berhasil dalam studi maupun dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Ada kecenderungan sekolah-sekolah di Indonesia itu modelnya
mengindoktrinasi, karena telah terperangkap dengan istilah materialisme
kurikulum. Karena terlalu banyak materi, sehingga anak-anak itu mudah boring,” tuturnya pada suatu kesempatan
ketika Pak J diundang dalam sebuah program acara Rumah Perubahan Rhenald
Khasali.
Dari pendapat diatas, ternyata murid
cerdas versi Pak J itu bukanlah ketika murid-murid itu bisa mendapatkan
niliai UN yang tinggi atau berhasil menghafalkan materi di kelas. Itu penting,
namun yang lebih penting lagi menurut beliau adalah menyelesaikan persoalan
hidup sehari-hari. Istilahnya menjadi pemenang kehidupan. Menurut saya itu wujud
pendidikan karakter yang seungguhnya. Pak J juga
pernah mengatakan bahwa memang itulah pendidikan yang lebih dibutuhkan oleh generasi
anak mami di era gawai atau multimedia ini. Pendidikan nilai sangat diperlukan.
Pendidikan karakter yang sangat kuat
yang diterapkan di SMA De Britto adalah lewat program imersi (immersion program). Bagaimana
murid-murid belajar tentang kehidupan. Mereka diberikan tantangan-tantangan kehidupan
yang bisa menyentuh hati nuraninya. Berkesempatan belajar dengan Pak J.
Jumardianta di dua kesempatam lalu, saya bisa mengenal istilah program imersi ini.
Beliau bercerita mengenai program pendidikan karakter yang ada di sekolah
Kolese De Britto Yogyakarta.
Tulisan beliau terntang program imersi yang
berjudul “Melawan Budaya Casting” pernah dimuat di Koran Jawa Pos pada 10 maret
2013. Berkesempatan membaca tulisan beliau ini juga berkat pertemuan saya dengan
Pak Guru. Lewat tulisan tersebut beliau menjelaskan bagaimana program imersi yang
berjalan di sekolah tempat beliau mengajar. Siswa harus menjalani sebuah
situasi yang keluar dari zona nyamannya. Bagaimana siswa yang mempunyai watak
jijik harus mengatasi raa jijiknya dengan hidup dipanti jompo. Murid-murid yang
hidupnya sangat wemah, mereka harus hidup bersama
kaum gelandangan yang bermukim di kolong jalan tol Pluit dan kolong jembatan
Kampung Melayu, menjadi tukang gali kubur di pemakaman Kebon Nanas, hidup
bersama buruh pelabuhan di Tanjung Priok, dll. Kegiatan seperti itu diyakini
bisa menyentuh tapal batasnya dan bisa mengatasi kelemahannya tersebut.
Tidak berhenti disitu dalam menanamkan pendidikan karakter
kepada murid-muridnya, dalam pembelajaran di kelas pun juga sama. Inspirasi
saat proses pembelajaran tak ada henti-hentinya ditebarkan. Menjadi sikap yang
penting untuk diteladani dari beliau adalah punya tradisi membaca yang sangat
baik. Beliau menularkan tradisi baik itu kepada murid-muridnya.
Metode mengajarnya pun sangat menarik. Pak J. Sumardianta
pernah menceritakanpengalaman beliau saat mengajar PKN, yang membuat pelajaran
yang membosankan ini dikemas menjadi pelajaran yang membuat siswa terkesan saat
mempelajarinya. Bahkan sampai ada siswa yang menangis, tersentuh hatinya ketika
tengah memperesentasikan tugas tentang patriotisme yang beliau berikan. Cerita
itu juga beliau tulis dalam buku yang ditulisnya bersama guru hebat juga, Bu Ditta
Puti Sarasvati, Putri Rizal Ramli, Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (Benatang
Pustaka: 2016).
Kisah lain yang mengesankan
bagi saya adalah bagaimana bu Dhitta Puti menggunakan sms untuk mengajar bahasa
Inggris. Setiap beberapa hari, Bu Puti menuliskan sesuatu yang menarik dalam
bahasa Inggris untuk dikirim ke murid-muridnya. Saya bayangkan sebagian
muridnya adalah membalas sms tersebut dan berlatih berdialog dalam bahasa Inggris.
Bila bingung hendak menulis apa, bu Dhitta Puti mencari inspirasi dari bacaan
atau apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ketika Jakarta dilanda hujan badai,
ia menelusuri internet untuk belajar tentang petir, kemudian merangkumkan hasil
belajar tersebut dalam bentuk sms kepada murid-muridnya. nApa yang beliau lakukan itu menurut saya adalah wujud ketulusan sebagi pendidik. Ia mau meluangkan energy dan wwaktu untuk mengirim SMS agar murid-muridnya bersemangat belajar.
Berkaca pada kisah dan
refleksi-refleksi di buku mendidik pemenag bukan pecundang, saya juga semakin
yakin bahwa syarat utama dari keberhasilan guru menumbuhkan kasmaran belajar
pada muridnya adalah dengan terlebih dahulu menjadi pecinta pengetahuan, menjadi
orang-orang yang ingin menjadi lebih tahu tentang murid-muridnya, tentang cara
mengajar yang lebih baik, dan tentu tentang ilmu yang diajarkan.
*Tulisan berikut adalah naskah buku antologi bersama SPN bertema pendidikan karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar