“Lihat
kebunku penuh dengan bunga
ada
yang putih dan ada yang merah,
setiap
hari kusiram semua,
Mawar,
Melati semuanya indah."
Lirik lagu
masa kecil berjudul lihat kebunku yang diciptakan oleh Ibu Sud sepertinya cukup
jelas untuk menggambarkan suasana sebuah kebun, yang mana penuh dengan bunga
warna-warni. Sepertinya banyak yang setuju akan hal itu. Memang kalau diartikan
secara istilahi kebun bermakna seperti itu, mungkin lebih condong ke taman.
Sengaja pemilik rumah membuatkan kebun atau taman tersebut dipekarangan rumah
untuk membuat rumahnya menjadi asri dan indah.
Bagaimana
dengan kebunku? Cukup bingung saya menamainya. Kalau saya sebut kebun kesannya
terlalu indah, karena dalam kebunku itu hanya ada pepohonan dan tetumbuhan,
kalau saja ada bunganya itu bunga yang tumbuh liar.
Sebenarnya kebunku itu
lebih mirip hutan, namun kalau saya sebut hutan terkesan ekstrem, he he.
Pokoknya kebunku yang saya maksud itu berada di tengah-tengah antara
kebun dan hutan. Orang-orang tidak biasa menyebut kebun atau hutan, namun lebih
umum dipanggil alas atau dalam Bahasa Jawa "wono". Begitulah. Meskipun itu berada di pekarangan rumah
biasa disebutnya alas atau wono. Karena pada umumnya pekarangan
rumah warga di desa kami tidak ditumbuhi warna-warni bunga, namun kebanyakan
macam pepohonan dan tetumbuhan.
Sambil
menunggu panggilan kerja dari beberapa instansi yang saya masuki yang belum
kunjung datang, saya habiskan waktu di rumah. Bersih-bersih rumah, membantu
memasak, baca cerita, nulis cerita, dan ke kebun menjadi
aktivitas yang sering saya lakoni saat di rumah. Nulis ceritapun tidak bisa
langsung saya masukkan di blog, karena saat di rumah terpaksa harus puasa
gadget. Sinyal telepon di tempat saya masih lemah, hanya di tempat-tempat
tertentu saja yang bisa dijangkau sinyal, apalagi kalau mau dipakai internetan.
Jadi kalau lagi keluar, baru saya bisa post. Ikut orang tua ke sawah, mencari
rumput, memanen hasil kebun adalah aktivitas yang sangat menyenangkan ketika
dirumah. Meskipun puasa gadget, jadi tetap betah saja.
Karena
orangtuaku pekerjaanya sebagai petani, maka beberapa lahan diolah, ada yang
berada di dekat rumah dan ada yang jauh dari rumah. Saya sangat senang kalau
pergi ke kebun yang jaraknya jauh dari rumah. Saya selalu membawa bekal.
Dimakan disana nikmatnya luar biasa.
Kalau pergi
ke kebun, kami selalu berjalan kaki. Untuk menuju ke kebun, jalannya tidak bisa
dijangkau kendaraan, hanya setapak saja. Air minum tidak boleh ketinggalan
untuk penghilang lelah dan dahaga karena menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Beberapa
hari yang lalu baru saja saya mengajak simbok ke kebun yang jauh dari rumah.
Sekitar setengah jam untuk menempuh perjalanan menuju kesana. Kami berangkat
pagi hari agar matahari tidak terlau menyengat. Turuni lembah, naiki bukit,
asyeeek. Belum juga sampai, keringat sudah bercucuran. Air minum sudah
kutenggak hingga berkali-kali. Terlihat simbok saya biasa-biasa saja.
Sampai di
tempat, simbok langsung beraksi, memainkan arit yang dibawanya dengan tangkas.
Selain mencari rumput, kalau ke kebun simbok selalu membersihkan
tumbuhan-tumbuhan yang mengganggu pepohonan atau tanaman yang ditanamnya. Ada
saja yang dilakukan. Saya jadi mati gaya. Sementara
saya tidak langsung beraksi, menghela nafas dulu. Benar-benar lelah.
Seperti yang
ditugaskan simbok kepada saya sebelum berangkat, yaitu memetik cabe yang sudah
tua. Memanen cabe bukan berarti saya sedang berada di kebun cabe, yang hanya
dipenuhi cabe. Namun cabe hanya tumbuhan selingan saja. Ditanam di tempat yang
terpisah, di sela-sela pepohonan yang ada. Jadi saya harus mencarinya terlebih
dahulu.
Simbok yang
disana, semantara saya disini. Saya lumayan takut. Kalau sudah di tempat yang
berjauhan, saya memanggil simbok untuk memastikan saja kalau ia masih berada di
tempat yang tidak terlalu jauh. Selain memetik cabe, saya juga diminta untuk
memetik daun singkong muda dan daun papaya muda. Sayur untuk dimasak di rumah.
Kebanyakan memang sayur yang biasa dimasak di rumah langsung dari kebun, tidak
perlu membeli.
Medan
kebunku yang sulit, membutuhkan waktu selama berjam-jam untuk menyelesaikan
tugas saya, yaitu memanen cabe dan mencari sayur. Setelah selesai, tibalah
waktunya menikmati bekal yang saya bawa. Kami menikmatinya berdua di gubuk.
Sengaja bapak saya membuatkan gubuk di masing-masing kebun yang diolah. Di
gubuk kecil yang hanya diberi atap dan alas itu sekedar tempat untuk melepas
lelah atau meletakkan barang-barang, salah satunya makanan.
Selesai
makan, simbok malanjutkan mencari pakan kambing. Saya mengikuti saja, karena
takut kalau berjauhan. Ikut mencari rumput sebentar, lalu istirahat lagi, he he. Setelah dapat banyak, simbok
menata rumputnya. Dijadikan dua, saya diminta menggendong sebagian dan simbok
juga menggendong yang sebagian. Tetap saja barang bawaanya masih berat simbok,
karena masih ditambah oleh-oleh dari kebun yang ditaruh dalam keranjang.
Seperti
menemukan harta karun saja. Dalam kesempatan saya ke kebun ini, di tengah
mencari rumputnya simbok menemukan beberapa buah kelapa muda yang jatuh.
Dilihat masih aman, tidak busuk. Langsung saja, kelapa muda itu saya buka dan
dinikmati berdua. Lumayan buat stamina perjalanan pulang.
Dipastikan sebelum
pulang, semua barang bawaan tidak ada yang tertinggal. Saya bersiap menata
rumput yang akan saya gendong. Ditata senyaman mungkin, agar saat dipakai jalan
tidak terasa sakit di bahu. Meskipun selama di perjalanan berhenti hingga
berkali-kali, tetapi perjalanan sukses hingga rumah.
Itulah
sekelumit ceritaku yang telah saya tuliskan selepas pergi ke kebun beberapa
hari yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar