Pagi-pagi
mereka sudah sudah bangun untuk persiapan ke mushola kampung melaksanakan
sholat idul adha. Saya tidak ikut bangun sepagi itu, karena kebetulan puasa dan
sholat id di momen idul adha tahun ini tidak bisa saya lakukan. Hujan yang
turun cukup deras, kedengaranya menambah keribetan mereka sebelum berangkat.
Kalau tidak hujan biasanya berjalan kaki
menuju mushola kampung sekitar lima belas menit sudah sampai, mungkin tambah
lima menit kiranya pas hujan begini. Agar sampai di tempat tidak terlambat,
mereka mensiasati untuk berangkat lebih pagi. Mereka berangkat, saya tidur
lagi, he he he.
Meskipun
saya lagi haid, namun malam harinya saya berkesempatan untuk pergi ke mushola
bersama Adik dan Bapak. Kami ikut takbiran bersama. Di saat waktu maghrib,
lantunan takbir sudah mulai terdengar di mushola kampung dan juga
masjid-masjid. Kami berangkat sudah agak malam, sekitar jam setengah sembilan.
Sampai disana sudah banyak juga ternyata jamaah takbiran yang datang. Untuk
jamaah perempuan hanya segelintir saja, ada enam orang termasuk saya dan adik
saya.
Lantunan takbir diiringi tabuhan bedhug
menambah semarak suasana malam itu. Semakin malam, semakin dikencangkan
lantunanya agar tidak mengantuk. Namun, lewat jam 12, saya sudah tidak kuat
menahan rasa ngantuk, akhirnya saya mengajak pulang lebih dulu. Untuk yang
perempuan jam segitu sudah tidak tersisa, tinggalah jamaah laki-laki.
Pagi
harinya, suara takbir tidak terdengar dari rumah. Lampunya padam, sehingga
dilkukan tanpa pengeras suara.
Seperti
biasa, ketika hari raya kurban orang tua saya membuatkan sarapan untuk
orang-orang yang menyembelih hewan kurban. Saya yang tidak ikut ke mushola
untuk sholat id diberi tugas untuk mempersiapkanya. Tiga buah kelapa berada di
depan pintu dapur. Tak lain kelapa itu diminta untuk mengelupas tempurungnya,
lalu diparut. Saya lakukan di depan tungku sambil menjaga api tungku agar tidak
padam karena ada air yang direbus. Untuk hangatkan badan juga.
Simbok saya
pulang dari mushola, masih tersisa satu kelapa yang belum saya parut. Setelah
selesai, baru simbok yang melanjutkan memasaknya, saya tinggal bantu-bantu
saja.
Menu sarapan
yang akan kami buat ini adalah Nasi Uduk (tanpa lodho lhoo ya, hehe). Lalu
dibuatkan tempe goreng sebagai lauknya. it’s
so simple, right? Ya, begitulah. Itu sudah nikmat sekali. Bapak saya yang
juga ikut menyembelih hewan kurban pulang dari mushola untuk mengambil sarapan.
Makanan sudah siap dibawa. Tidak lupa juga, untuk minumnya dibuatkan satu botol
kopi panas.
Setelah
semuanya selesai, kami sarapan. Menikmati Nasi uduk dan tempe goring yang masih
hangat. Ditambah suasana yang dingin karena hujan pagi, pas sekali.
Untuk siang
harinya, beberapa jatah hewan kurban diiantar ke rumah. Barulah kami disibukkan
dengan dagimg kurban itu. Membersihkanya, lalu dimasak, dan dinikmati bersama.
Saya jadi seksi bakar-membakar. Anggap saja mau bikin sate. Karena asal bakar
saja, perapianya tidak stabil hasilnya juga tidak selezat sate-sate yang dijual
itu. Namun, setidaknya sudah bapak buatkan sunduknya, jadi hampir mirip sate
beneran, hehe.
Begitulah
dengan cerita hari raya idul adha saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar