Hari
Kamis kemarin, janjian dengan beberapa teman saya dari kampus untuk menghadiri
acara tersebut. Bedah buku kali ini diadakan di kantor PCNU Tulunggaung,
sekaligus digelar dalam rangka peringatan hari lahir NU yang ke-93. Berangkat
dari rumah pukul 08. 30. Karena tempatnya tidak terlalu jauh, jadi berangkatnya
mepet. Sampai di tempat, ternyata banyak juga yang baru berdatangan. Kami
langsung menuju ke Aula, mengisi absensi terlebih dahulu, dan mencari tempat
duduk. Kebetulan beberapa teman sudah duduk di bangku paling depan, kamipun
menyusul mereka untuk duduk di sebelahnya.
Acara
dimulai masih beberapa menit kemudian, jadi harus menunggu. Para hadirin
sepertinya juga masih belum datang semua, banyak kursi yang belum terisi.
Setelah para nara sumber, mulai memasuki ruangan, acarapun segera dimulai. MC
membuka acara dan memandu setiap rangkaian kegiatan, dimulai dengan pembacaan
ayat suci Al-Qur’an, menyanyikan lagu Indonesia Raya disusul lagu mars,
sambutan oleh ketua PCNU Tulunggaung, ditutup dengan Do’a, dan acara yang
terakhir adalah bedah buku.
Dalam
sambutanya, ketua PCNU Tulungagung, KH. Hakim menyampaikan beberapa hal penting
yang berhasil saya serap. Berbicara tentang Islam Nusantara, beliau
menyampaikan bahwa hal itu bagi kita, terutama warga NU terutama kalangan
pemuda yang mengaku sebagai penerus perjuangan Nahdatul Ulama harus menyambut
dengan gegap gempita dengan adanya ini. Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan
bedah buku ini diharapkan akan lebih menambah pengertian bagi kita, sehingga
kita lebih kuat untuk menjaga NU dan NKRI kedepannya.
Kalangan
umum dengan berbagai latar belakang, pada hari itu hadir dalam acara bedah buku
ini. Meskipun yang datang tidak sesuai dengan harapan, bahwa kursi yang
disediakan panitia akan penuh, namun sepertinya tidak menyurutkan semangat para
hadirin untuk menyimak dengan khidmat penjelasan yang disampaikan oleh Dr.
Zainul Milal Bizawie dan Dr. Ngainun Naim, berkaitan dengan Islam Nusantara
sendiri maupun kaitanya tentang buku masterpiece Islam Nusantara. Terlihat,
banyak juga para hadirin yang mempunyai buku dengan ketebalan luar biasa itu
dan disimaknya saat acara bedah buku berlangsung.
Dengan
dipandu oleh moderator Bapak. Moh. Kholid Tohiri, M.Pd., acara bedah buku
dimulai. Kesempatan pertama diberikan kepada Bapak. Milal selalu penulis buku
masterpiece Islam Nusantara untuk memberikan pengantar dalam acara bedah buku
ini. Ternyata beliau dalam memberikan penjelasan juga sangat gamblang.
Penyampaiannya tidak terlalu cepat, Bahasanya mengalir dan mudah dipahami,
sehingga apa yang beliau sampaikan sangat mudah diterima.
Dr.
Zainul Milal Bizawie menegaskan bahwa buku yang ditulisnya tersebut tidak
menjelaskan tentang Islam Nusantara secara istilahi atau secara konsep, namun
penulis ingin mengetengahkan bahwa Islam di Nusantara itu sudah ada sejak zaman
dahulu kala. Meskipun NU berdiri tahun 1926, tapi sebenarnya para ulama-santri
di negeri ini sudah lama ada untuk berjuang. Ulama-ulama luar biasa mulai wali
songo berlanjut hingga beberapa abad kemudian berijtihad membangun bangsa,
sehingga munculah bangsa yang bernama NKRI.
Benar
sekali, ketika NU menggunakan semboyannya NKRI harga mati, karena memang Islam
yang rahmatan lil alamin di Nusantara ini masterpiece-nya NKRI itu sendiri.
NKRI sebagai sebuah karya besar yang harus kita lestarikan. Jadi, dengan
semboyan tersebut menunjukkan bahwa Islam rahmatan lil alamin sangat
berkomitmen untuk menjaga keutuhan negara yang telah diperjuangkan tersebut.
Merujuk
pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Pesan yang terselip di dalamnya
adalah hanya dengan rahmat Allah, kemerdekaan itu menjadi ada. Kemerdekaan
Indonesia bukanlah pemberian siapa-siapa, bukan pemberian dari komunis, bukan
pemberian dari sosialis, bukan pemberian dari liberal, namun karena buah dari
perjuangan anti-kolonialisme yang panjang dan buah dari Ijtihad keislaman dan
Indonesia tercinta ini sebagai wujud mahakaryanya. Maka dari itu menjadi tugas
kita semua sebagai umat muslim untuk menjaga dan melestarikan sebuah karya
besar tersebut, yaitu NKRI.
Peran
serta ulama di Indonesia memang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia, namun
dalam sejarahnya peran-serta ulama tersebut banyak yang dihapuskan. Belanda
tidak pernah rela Indonesia ini merdeka. Oleh karena itu, walaupun tahun 1949
pernah terjadi pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, namun dalam sejarahnya
banyak yang dihapus, banyak yang dikekang. Itulah mengapa banyak konflik
terjadi. Bahkan ketika para ulama berjuang untuk Indonesia, munculah kejadian
pada tahun 1948 yang dikenal dengan peristiwa Madiun. Hal itu merupakan sebuah
akal-akalan Belanda untuk melemahkan pejuang-pejuang di Nusantara ini.
Dr.
Zainul Milal Bizawie menyebutkan diantara tokoh ulama pejuang dari Tulungagung,
seperti KH. Abdul Fattah, Kyai. Mustaqim (PETA), dll. Mereka merupakan diatara
para ulama yang turut berjuang pada era kemerdekaan. Namun sebenarnya jauh
sebelumnya (sebelum kemerdekaan) masih banyak ulama-ulama Tulungagung juga
terus berjuang. Jadi dalam hal ini kemerdekaan NKRI juga tidak terlepas dari
kiprah besar para ulama-ulama Tulungagung juga.
Buku
“Masterpiece Islam Nusantara” mengisahkan jejaring ulama-santri dalam melakukan
perjuangan kemerdekaan NKRI yang dimulai dari tahun 1830-1945. Dalam artian,
perjuangan dalam satu abad tersebut para ulama, dari generasi ke generasi
selanjutnya terus berjuang meskipun waktu itu banyak sekali rintangan yang
harus dihadapi, tetapi para ulama di berbagai daerah tetap melakukan
perjuangan.
Mengapa
Islam di Nusantara ini sangat penting? Dr. Milal dengan gamblang memberikan
penjelasan tentang pentingnya Islam Nusantara. Mengingat kondisi dunia Islam
saat ini yang dipenuhi dengan informasi-informasi tentang ISIS, tentang
kelompok-kelompok Islam yang radikal di Timur-Tengah, oleh karena itu maha
pentingnya Islam Nusantara ini sebagai sebuah identitas agar bisa menjadi
alternatif bahwa ada Islam yang damai, ada Islam yang rahmat, ada islam yang
toleransi di negeri ini.
Sebenarnya
Islam di Nusantara ini juga sudah pernah dinyatakan oleh Rosulullah. Beliau
pernah menyatakan bahwa aka nada seorang panglima paling besar, paling hebat
sepanjang zaman. Siapa panglima itu? Dia adalah sang penakluk konstantinopel,
yaitu Muhammad Al-Fatih. Saat itu, beliau telah mengirimkan ulama-ulama yang
kemudian menjadi Wali Songo. Usaha Al-Fatih selama berabad-abad dalam
mengirimkan para ulama ke Nusantara itu berhasil melahirkan apa yang disebut
dengan Nahdatul Ulama (NU). Sehingga dalam hal ini NU adalah sebuah impian
Rasulullahyangi punya pengaruh luar biasa hingga saat ini.
Sekali
lagi, Dr. Milal menyampaikan bahwa maksud dari buku ini adalah ingin memberikan
sebuah gambaran bahwa islam di Nusantara ini adalah Islam yang sudah matang,
sudah tahan banting menghadapi siapapun demi menegakkan Islam di Nusantara ini.
Untuk itu, kita harus mensyukuri dan harus menjaganya dengan baik-baik bahwa
Islamnya NU, Islam di Nusantara ini sudah jelas bahwa musanadnya ada pada
Rasulullahah, bukan islam yang liberal atau bukan islam yang lain-lain. Islam
Nusantara itu adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang harus terus
diperjuangkan.
Berikut
giliran Bapak. Ngainun Naim selaku pembanding dalam acara bedah buku ini.
Karena waktu yang diberikan sangat terbatas, yaitu hanya 15 menit saja, jadi
tidak mungkin cukup untuk membahas isi buku yang ketebalannya luar biasa ini.
Sehingga jika ingin mengetahui isi buku lebih jauh, alternatif terbaiknya
adalah dengan membacanya. Beliau menyampaikan bahwa buku ini sangat berbobot.
Bukan hanya berbobot karena ketebalannya, namun memang berbobot dalam arti
bermutu. Menurut hitungan sederhana beliau, jika dalam satu hari menulis 3-4
halaman, maka menulis buku ini bisa memakan waktu minimal satu tahun, belum
termasuk risetnya.
Meskipun
sebenarnya buku ini buku ilmiah, namun ditulis secara popular. Tidak seperti
layaknya buku ilmiah pada umumnya, yang penuh dengan foot note, bahasanya sulit
dipahami, bahkan termasuk yang nulis sendiri bisa jadi sulit memahaminya.
Tetapi buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, santai, mengalir seperti
cerita dan akan lancar memahaminya (tidak perlu mengrenyitkan dahi). Ketika
kita bisa membaca buku ini dengan santai, bisa menghayati tanpa penuh
keterpaksaan, maka akan banyak sekali khasanah-khasanah, warisan-warisan
sejarah yang dimunculkan. Ini menandakan bahwa penulis bekerja sebagai
antropolog dan sejarawan yang serius.
Sebagai
pembanding, beliau juga membandingkan buku tersebut dengan buku-buku yang
bertajuk sama, khususnya Buku tentang Islam Nusantara yang pernah dibaca.
Pertama Bapak. Ngainun Naim menyampaikan bahwa sebenarnya istilah Islam
Nusantara bukan istilah baru. Di dunia wacana, sebuah istilah itu bisa menjadi
sangat terkenal karena momentum atau kesempatan. Bahkan suadah ada juga buku
yang berkaitan tentang lslam Nusantara jauh sebelum Islam Nusantara menjadi
wacana yang ramai di perbincangkan menjelang mukhtamar NU pada Bulan Agustus
2015.
Buku-buku
tersebut diantaranya; Buku Islam Nusantara karya Prof. Dr. Azyumardi Azra
(Mizan: 2002), buku Islam Nusantara karya Nor. Huda (Ar-ruzz media: 20017, buku
) buku Fajar Baru islam Indonesia: Kajian komprehensif atas arus sejarah dan
intelektual Islam Nusantara karya Prof. Dr. Mujamil Qomar. M. Ag (Mizan: 2012),
Buku Islam Nusantara dari Ushul Fiqih Hingga Paham Kebangsaan karya Akhmad
Sahal dan Munawwir (Mizan: 2015), Buku Arkeologi islam nusantara karya Uka
Tjandrasasmita (Kompas: 20019), dan Buku Mabadi Asyrah Islam Nusantara karya
Faris khoirul Anam.
Diantara
keenam buku yang beliau miliki tersebut, diakui bahwa buku Masterpiece Islam
Nusantara inilah yang paling bagus. Sambil sedikit melucu, bahwa katanya
membahagiakan orang lain dengan memuji bukunya bisa mendapat pahala.
Memang
dari keenam buku tersebut, Bapak. Ngainun Naim bisa membeberkan satu per satu
kelemahannya. Ada yang pembahasanya tidak sistematis, kurang laris, bahasanya
sulit dipahami, tidak terlalu banyak diminati oleh kalangan NU karena buku
membahas aspek pemikiran atau intelektual, ada salah satu buku tersebut yang
penerbitanya dilakukan secara terpaksa karena mengejar mukhtamar sehingga ada
banyak salah ketik, dsb.
Mengacu
pada aspek substansi yang kebetulan dijelaskan dalam buku karya Dr. Milal ini,
bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai
Islam teologis dengan Nilai-nilai tradisi lokal , budaya, dan adat-istiadat di
tanah air. Setelah beliau mencoba renungkan, pengertian tersebut lebih
cenderung pada Islam Nusantara, bukan Islam Indonesia.
Hal
ini berbeda dengan pengertian Islam Nusantara yang diungkapkan dalam bukunya
Prof. Azyumardi Azra yang mengacu pada aspek geografi (bukan substansi ) bahwa wilayah
Nusantara adalah gugusan kepulauanyang mencakup Indonesia, wilayah muslim
Malaysia, Wilayah Muslim Singapura, Thailand Selatan (Pattani), Filiphina
Selatan, dan Kamboja. Jadi, tidak hanya Indonesia saja yang menjadi wilayah
Nusantara. Wilayah tersebut disebut wilayah Nusantara karena ada kesamaan
teologis, ideologis, dan juga kesamaan pemahaman agama.
Dalam
kesempatan ini Bapak. Ngainun Naim juga mengambil poin penting dari buku ini
terkait dengan Islam Nusantara. Karakteristik Islam Nusantara menurut bukunya
Dr. Zainul Milal Bizawi adalah Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang
membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang
mengajak taubat bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan
memaksakan. Itulah yang dinamakan Islam Rahmatan Lil Alamin yang sesunggguhnya.
Bapak.
Ngainun Naim juga menyampaikan bahwa istimewanya buku ini karena fokus pada
jejaring, dimana belum pernah ditemukan pada kajian-kajian sebelumnya. Mulai
dari tahun 1830 sampai 1945, penulis bisa merunut jejaring para ulama yang
berkiprah dalam memperjuangkan Islam Nusantara hingga 115 tahun adalah sesuatu
yang luar biasa. Judul buku ini juga tergolong istimewa dan top “Masterpiece
Islam Nusantara.”
Dilihat
dari aspek pembahasanya, beliau menyampaikan beberapa catatan penting. Pertama,
penulis buku ini mengangkat aspek yang selama ini belum pernah diungkap, yaitu
aspek penelitian, aspek yang biasa, yang kurang dianggap penting oleh orang
lain, namun penulis bisa melakukannya adalah keistimewaan tersendiri. Sehingga
buku ini akan mampu menyempurnakan kajian-kajian sebelumnya.
Kedua,
Buku ini juga istimewa karena lebih banyak berbicara tentang data. Namun
sayangnya aspek metodologinya belum begitu nampak, sehingga akan lebih bagus
kalau aspek metodologinya juga diperkuat.
Ketiga,
buku ini obyek kajiannya terkonsentrasi pada tokoh-tokoh besar yang memiliki
andil dalam narasi besar. Padahal, di setiap daerah, seperti di Tulungagung
banyak sekali tokoh yang berkontribusi besar namun tidak pernah terekam oleh
sejarah. Dalam artian, selain narasi besar yang dijadikan obyek kajian, juga
penting sekali untuk mengangkat narasi-narasi kecil yang selama ini tidak
pernah diketahui.
Kebanyakan
dari kita hanya tahu tokoh-tokoh ulama di Tulungagung lewat makamnya saja,
sering ziarah, namun bagaimana narasi lengkapnnya tidak pernah diketahui, apa
kontribusi beliau terhadap Islam di Tulungagung tidak terungkap. Maka penting
kiranya untuk mengkaji lebih jauh narasi kecil yang selama ini masih belum
dikaji tersebut.
Lima
belas menit sudah, waktu selanjutnya diberikan kepada pada penanya. Karena
waktu dibatasi, jadi hanya penanya yang beruntung saja yang mendapatkan
kesempatan. Dalam sesi pertanyaan ini, terlalu tinggi bagi saya menangkap apa
yang ditanyakan oleh mereka, namun saya masih berusaha untuk menyimak secara
khidmat.
Sebagai
penutup, ditegaskan lagi bahwa Islam Nusantara bukanlah sebuah hal baru. Sudah
lama sebelumnya, para santri-ulama di Nusantara ini berkontribusi untuk
melahirkan sebuah karya besar, yaitu NKRI. Sayangnya sebuah pencapaian besar
para ulama-santri tersebut banyak yang tidak diabadikan dalam tulisan, sehingga
jika ingin mencari bukti nyata kiprahnya membangun bangsa ini akan sulit.
Mengkaji
sejarah, seperti apa yang dilakukan oleh Dr. Zainul Milal Bizawie ini sangat
penting. Segala sesuatunya sangat penting untuk diabadikan dalam sebuah
tulisan, sehingga bisa bertahan hingga akhir jaman.
Mengikuti
acara ini tentunya banyak sekali hal-hal baru yang saya dapatkan. Belum lagi
jika berkesempatan untuk menyelami samudera aksara yang ada dalam buku
Masterpiece Islam Nusantara ini.
Sesi bedah buku Masterpiece Islam Nusantara
Foto bersama
Tulungagung, 06-07 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar