Novel Ayah karya Andrea Hirata
Membaca novel sebenarnya lebih mengena
daripada menonton filmnya, namun memahami bahasa novel rupanya juga tidak
semudah memahami lakon film. Begitulah kesanku saat mencoba membaca novel Ayah
ini.
Ketika membaca novel ini, saya memang sering kurang paham maksud bahasa
yang dipakai yang terlalu metaforis dan puitis. Penggemar tulisan ringan
sepertiku, memang perlu upaya untuk bisa paham isinya. Sesekali saya perlu ndakik-ndakik untuk membaca
berulang-ulang. Namun, saya merasa terhipnotis dengan jalan ceritanya, sehingga
nyaman-nyaman saja meskipun perlu membolak-balikan halaman demi memahami jalan
cerita.
Memang saat masih di awal-awal terasa membingungkan.
Alur ceritanya tidak dibuat runtut, sehingga terkesan membingungkan. Ada
beberapa tokoh cerita yang digambarkan secara bergantian disana. Setelah sub bab sebelumnya membicarakan tokoh A, lalu berikutnya membahas
tokoh B, lalu C, dsb. Namun, setelah melahap cerita demi cerita dari novel ini,
semuanya terajut menjadi sebuah cerita utuh yang sangat mengesankan.
Tentang arti sebuah keluarga. Bagaimana kekuatan cinta
seorang ayah, bernama Sabari, terutama untuk anak yang begitu ia sayangi
(Zorro) diceritakan secara apik dalam novel berjudul Ayah ini. Kehadiran Zorro
telah merubah hidup Sabari menjadi seorang ayah. Penulis juga menceritakan
secara dramatis, bagaimana kerasnya perjuangan dan pengorbanan Sabari untuk
cintanya kepada istri. Marlena.
Di bab-bab awal, pembaca disuguhkan akan cerita menarik tentang
masa muda Sabari bersama ketiga sahabatnya, Ukun, Tamat, dan Toharun. Mereka
adalah sahabat seperjuangan dalam suka dan duka, salah satunya dalam
memperjuangkan cinta.
Sabari dikenal dengan sosok yang sangat dingin terhadap cinta.
“Soal cinta? Sabari tak kenal dan tak suka. Cinta adalah kata yang asing. Cinta
adalah racun manis penuh tipu muslihat - Hal. 10.” Sedangkan sahabatnya gampang
sekali jatuh cinta dengan berbagai gadis, tapi juga sama saja karena mereka tidak
berani menyatakan perasaan cintanya pada gadis yang mereka sukai.
Namun ketika Sabari duduk di bangku SMA, benih cinta tumbuh
pada sosok wanita bernama Marlena. Dan perjuangan Sabari mengejar cinta
Marlena dimulai. Kehidupan SMA dengan benih-benih cinta yang terjadi antara
mereka berdua dikisahkan secara detail oleh Bang Andrea Hirata.
Meski seringkali
cintanya ditolak oleh Lena, Sabari tetap saja sabar dan tidak pernah pantang
menyerah, ia terus berusaha menarik perhatian Lena. “Mencintai
seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa
muak – Hal.35.” Begitulah filosofi hidup yang
Sabari anut.
Segala usaha dilakoni Sabari demi mendapatkan perhatian dan
cinta dari Lena. Bagi Sabari, sepasang mata Marlena bak purnama kedua belas yang
selalu membuatnya merinding saat menatapnya.
Sabari punya bakat luar biasa yang diturunkan dari ayahnya
bernama, Insyafi, yaitu membuat puisi Memainkan Bahasa perlambang ini, Sabari
adalah jagoanya. Tidak semua orang mampu memaknainya.
Dalam sub bab yang berjudul “Merayu Awan”, penulis
mengisahkan bagaimana Ayah sabari sangat telaten berpuisi untuk anaknya. Setiap malam
menjelang tidur, ayahnya selalu diminta untuk bercerita tentang keluarga langit
dan melantunkan nyanyian untuk merayu awan, yang dinamai puisi merayu awan.
Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Jangankan turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang …
(Novel Ayah -
Hal.63)
Kegemaranya dalam berpuisi, membuat Sabari mendapat nilai
tertinggi ketika ujian Bahasa Indonesia. Bu Norma (Guru Bahasa Indonesia
Sabari) sampai heran dengan sosok sabari yang pandai merangkai kata-kata yang
sangat spektakuler.
Kepiawaianya dalam berpuisi juga dimanfa’atkan oleh Sabari
untuk mencuri perhatian Lena. Sabari selalu membuatkan puisi kepada marlena.
Sudah tidak dapat terhitung lagi puisi-puisi cinta sabari kepada marlena.
Demi Lena, Sabari juga
bersedia melakukan hal konyol. Sabari
ikut-ikutan melakukan segala sesuatu yang Lena suka. Seperti berkirim surat
dengan sahabat Pena, karena ini merupakan salah satu hobinya. Membaca isi surat
Sabari untuk Lena ini, sungguh sontak membuatku tertawa ngakak =D
Sejauh
ini memang perjuangan Sabari untuk menjemput cinta Marlena hanya bertepuk
sebelah tangan. Air susu dibalas air tuba, begitu kiranya pepatah yang cocok bagi
cinta Sabari pada Marlena. Namun, Sabari masih dengan Sabar untuk senantiasa
mendapatkan cinta Lena.
Pejuangan Sabari yang selalu gagal untuk mencuri perhatian Lena, membuat
ketiga sahabatnya Ukun, Tamat, dan Toharun merasa kasihan. Sudah berkali-kali
ketiga sahabat itu mengingatkan Sabari untuk berpikir rasional, tapi Sabari
masih juga tetap bertahan akan keinginannya.
Usaha mendapat cinta Marlenapun, masih terus berlanjut selepas
mereka lulus SMA. Setelah
tamat dari SMA, Sabari memilih untuk bekerja di Tanjong Pandan bersama dua
kawannya Ukun dan Tamat. Namun tak lama ia memiliki rencana untuk pindah
bekerja ke Belantik demi cinta sebelah tangannya kepada Lena. Disana ia bekerja
di Pabrik Batako milik Markoni, bos yang sangat disiplin sekaligus Ayah Lena.
Sabari
bekerja dengan penuh tanggung jawab. Pekerjaan berat, ringan saja baginya.
Sebagaimana semboyan orang Kampung Belantik yang konon berkeringat kalau makan,
tetapi kalau bekerja tidak, benar-benar ada pada diri Sabari. Ia sangat
totalitas dalam bekerja, rajin dan disiplin. Bahkan beberapa kali ia mendapat
pengahargaan dari CV Nuansa Harmoni (Nama usaha batako milik Markoni) sebagai
karyawan teladan.
Medali keemasan berhasil mengalung di lehernya. Ia mendapat tepuk
tangan yang sangat meriah dari seluruh karyawan yang lainya. Semangat bekerja
yang luar biasa, tidak terlepas untuk gadis pujaannya, Marlena. Ia ingin sekali
Marlena kagum padanya. Sayangnya, Marlena tidak juga peduli meski sudah
bersusah payah Sabari berusaha membuat Marlena setidaknya melirik kerja
kerasnya. Meski begitu, Sabari tetaplah Sabari yang penyabar, ia terus
berusaha, dan mungkin ia tidak akan pernah lelah berusaha.
Sabari …. Sabari … Oh Sabari …
“Hidup ini
memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak menginginkan kita,
dan sebaliknya – Hal. 165.” Itu adalah uangkapan yang dipahami betul oleh Sabari. Meski begitu,
Sabari tetap tersenyum.
Cinta sungguh, sungguh ajaib …
“Awan takjub melihat
seorang lelaki yang mencintai perempuan di seberang meja itu lebih dari apa pun
di dunia ini, sedangkan peremupuan itu membenci lelaki itu lebih dari apapun di dunia ini, dan mereka akan segera menikah – Hal. 170.” Ya, mereka adalah
Sabari dan Marlena. Bagaimana keduanya bisa tetiba akan melangsungkan
pernikahan?
Sabari menikahi Lena lantaran Lena terjebak peristiwa hamil di
luar nikah dengan seorang cowok. Karena keluarga Marlena sangat menjaga kehormatan dan
nama baik keluarganya, maka terpaksa pernikahan ini harus dilangsungkan.
Mendengar kabar itu, Sabari bersedia berkorban untuk Lena. Ayah Lena, Markoni juga
merestui.
Meskipun usaha sabari untuk menikahi Marlena kesampaian, namun
Lena tetap Lena yang dulu. Ia masih membenci Sabari. Rumah
tangga yang dijalani Sabari akhirnya tidak pernah bisa dikatakan seperti rumah
tangga pada umumnya. Marlena bahkan jarang pulang. Selama
pernikahan itu berlangsung, Sabari dan Lena tidak tinggal serumah, sungguh
unik.
Bahagia
tak terperi pada diri Sabari, karena akan menyambut kelahiran anak yang
dikandung Lena. Meskipun Lena hamil dengan pria lain, akan tetapi tidak
mengurangi kebahagiaan Sabari untuk menyambut kedatangan buah hatinya. Rumah
baru disiapkannya untuk hidup bersama keluarga kecilnya itu.
Saat
bayi itu lahir, suka cita kegembiraan tampak membuncah pada diri Sabari.
Akhirnya ia menjadi seorang Ayah. Sabari
membesarkan putranya yang diberi nama Zorro. Hidup sabari sangat bahagia
bersama anak kesayanganya. Baginya, Zorro adalah segala-galanya. Bila melihat Zorro, sakit
hatinya seakan terobati kalau mengingat tingkah Lena yang seenaknya.
Setiap hari Sabari bekerja keras dan merawat Zorro dengan baik.
Seperti apa yang telah dilakukan Ayah Sabari kepadanya waktu masih ia masih
kecil, pun ia lakukan kepada Zorro. Ia selalu berkisah tentang keluarga langit
dan membacakan puisi merayu awan kepada Zorro.
Kalau malam tiba, Sabari selalu
susah tidur lantaran membayangkan bermacam rencana yang akan dia lalui dengan
anaknya. Ia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi pasar
malam, membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya berpuasa
dan mengaji, memboncengnya naik sepeda setiap sore ke taman kota, dll. Zorro
pun menjadi amat lekat dengan Sabari yang selalu menyayanginya.
Singkat cerita, pada akhirnya pernikahan Sabari dan Marlena kandas
di meja sidang. Cerita berjudul “ Semua Telah Membeku di dalam Waktu”
menceritakan bagaimana Sabari mendapat gugatan cerai dari Lena. Kemudia cerita
berlanjut “Ruang Sidang III”. Sabari tenggelam dalam berupa-rupa detik, pasal
demi pasal UU perkawinan, kata menimbang, mengingat, memutuskan ini itu – Hal. 211. Sudah secara resmi
hubungannya dengan Lena khatam.
Kebahagiaan sabari bersama
keluarga kecilnya benar-benar serasa berakhir saat marlena datang bersama pacar
barunya dan mengambil paksa anaknya Zorro.
“Satire Akhir Tahun” mengisahkan
bagaimana banyak cobaan yang menimpa Sabari di akhir tahun itu. Setelah Zorro
diambil oleh Marlena darinya, dua minggu setelahnya ibunya meninggal. Berselang
tiga minggu, ayahnya meninggal. Yang tersisa hanyalah dia dan sepi. “Kebosanan itu kejam, tetapi kesepian lebih biadap daripada
kebosanan. Kesepian adalah salah satu penderitaan manusia yang paling pedih – Hal. 250.”
Kini Marlena tengah hidup bersama keluarga barunya, yang penulis
kisahkan bersama cerita yang berjudul “Kisah Keluarga Langit”, yaitu Jon Pijareli
(Suami baru Lena), Lena, dan Zorro. “Biarlah
kita jatuh cinta dan biarlah waktu mengujinya – Hal. 253.” Benar saja, waktu tengah menguji kesabaran akan cinta
Marlena terhadap Jon. Bahtera rumah tangga mereka berdua tidak bertahan lama.
Kesepian, hidup Sabari makin tak tentu. Badan tak terawat, rumah
tak diurus, dan ia tak mau kerja. Dia stress berat hingga membuat kedua
sahabatnya iba dan berinisiatif mencari Zorro. Tamat dan Ukun rela mencari Lena
dan Zorro ke seantero Sumatera. Perjuangan mereka mencari ibu dan anak tersebut
penuh liku. Mereka rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Sabari dan
persahabatan yang telah lama terjalin.
Pada
akhirnya, Ukun dan Tamat berhasil menemukan Lena dan Zorro. Ternyata, Lena
sudah menikah lagi dengan lelaki bernama Amirza. Zorro pun dinamai ulang dengan
nama Amiru.
Zorro
alias Amiru segera mengenali ayahnya. Kedua belahan jiwa itu akhirnya kembali
berpelukan dan saling mengisi rumah mereka yang tak ditinggali bertahun-tahun
itu. Amiru yang cerdas dan mencintai puisi seperti ayahnya, Sabari, sering
menghabiskan waktu berdua dengan Amiru, menunggu matahari tenggelam dan
berbalas puisi
Kulalui sungai yang berliku
Jalan panjang sejauh pandang
Debur ombak yang menerjang
Kukejar bayangan sayap elang
Di situlah kutemukan jejak-jejak untuk
pulang
Ayahku, kini aku telah pulang
Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang
~Zorro~
(Novel Ayah – Hal. 384)
Cerita
yang berjudul “Purnama Kedua Belas” yang menjadi pembuka cerita, ternyata juga
menjadi penutup cerita dalam novel ini. Benar-benar akhir cerita yang penuh
dengan kejutan.
Pada
pertengahan 2013, Sabari meninggal dunia. Saat Sabari meninggal, Lena masih
berumah tangga dengan Amirza, dan di makam Sabari tertulis, “Biarkan aku mati
dalam keharuman cintamu”. Amiru-lah yang mengukir puisi itu sesuai permintaan
Sabari sebelum meninggal.
Dan,
setahun berikutnya, Marlena meninggal. Sebelumnya, ia tengah berpesan pada
Amiru, anaknya untuk menguburkan jasadnya di Belantik, sebelah makan Sabari dan
ia juga berpesan untuk menulis “Purnama kedua belas” di nisannya. Purnama kedua
belas adalah panggilan kesayangan Sabari pada Marlena sejak pertamakali mereka
bertemu. Akhirnya, Amiru menurutinya, diukirnya tulisan itu pada nisan ibunya.
Meskipun
Lena sempat menikah beberapa kali, namun bagi Sabari Lena adalah cinta pertama
dan terakhirnya. Hanya Lena hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, saat ayahnya
masih hidup, Amiru bertanya pada ayahnya, apakah ayahnya masih mencintai
ibunya? Sabari menjawab, “Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga
kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku
mencintai ibumu.”
Datangkan
seribu serdadu untuk membekukku!
Bidikkan
seribu senapan, tepat ke ulu hatiku!
Langit
menjadi saksiku bahwa aku disini, untuk mencintaimu
Biarkan
aku mati dalam keharuman cintamu....
(Novel
Ayah, Halaman 110
Ketika menikmati kejutan demi kejuta cerita dari novel ini, apalagi
sampai pada endingnya, sungguh membuatku haru. Kesetiaan Sabari pada Lena membuat
saya merinding membaca akhir cerita ini. Sungguh!
Berkat didikan baik dari sang Ayah, Sabari yang penuh dengan
perjuangan, rela bekerja keras, merawat, dan memberikan yang terbaik untuk
Zorro, membuat Zorro atau Amiru tumbuh menjadi pribadi yang bisa dibanggakan,
selain pintar dan juga sangat pandai berpuisi seperti ayahnya.
Keluarga juga berarti sahabat. Zorro akhirnya bisa dipertemukan
kembali dengan ayahnya juga tidak lepas dari perjuangan sohib Sabari, yaitu
Ukun dan Tamat. Mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk sahabatnya, yang
rela berjuang keliling Sumatera dengan biaya yang pas-pasan demi kebahagiaan
Sabari. Juga, demi melihat hidup Sabari seperti semula.
Dijamin tidak bosan membacanya, karena selian banyak kisah yang
bisa kita ambil pelajaran, pembaca akan terhipnotis dengan tebaran kalimat-kalimat
indah nan melankolis dalam novel ini. Kita juga akan dimanjakan oleh beruntai-untai
puisi indah.
Selamat membaca ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar