Terhitung dalam satu bulan puasa kali
ini, dua minggu (minggu pertama dan terakhir) saya puasa di kampung halaman.
Sementara dua minggu yang lainnya, saya puasa di kota. Antara puasa di kampung
halaman dan di kota, masing-masing punya kesan tersendiri. Saya bahagia
menjalankan ibadah puasa di rumah, begitu juga di kota.
Selain kuliah, saat duduk di bangku SMP
dan SMA, saya juga telah berkesempatan menjalankan ibadah puasa di kota, karena
waktu itu saya tinggal di rumah saudara yang rumahnya di kota kecamatan. Meskipun
keramaianya jauh dari kota saat ini saya tinggal, namun dibandingkan kampung
halaman, disana merupakan pusat kota dan keramaiannya.
Menarinya, menjalankan ibadah puasa di kota, saya
bisa berkesempatan menikmati pemandangan keramaian kota saat puasa tiba.
Apalagi waktu menjelang berbuka tiba. Sambil menunggu bedug maghrib bisa sambil
ngabuburit, entah untuk jalan-jalan saja atau sambil membeli takjil untuk
berbuka. Banyak pasar takjil yang buka di bulan puasa. Tempat-tempat makan tertentu
juga ramai dipadati para pengunjung yang ingin buka disana. Kendaraan semakin
padat saja.
Begitu juga ketika saya berada di Kota
Tulungagung, selama bulan puasa ini saya memilih keluar membeli menu buka puasa
di pasar takjil. Ada sebuah tempat yang menjadi kesukaan saya dan tempat
tersebut selalu dipadati pembeli saat menjelang maghrib tiba. Mulai dari
masakan sampai minuman manis disediakan disana, tinggal pilih dan harganya juga
lumayan murah. Saya biasanya kesana dengan teman saya. Kami membeli menu yang
berbeda. Namun, setiap kali kesana, saya selalu membeli masakan berkuah, seperti
sayur sop atau sayur bening, juga
lauknya, sekaligus juga membeli untuk persiapan makan sahur. Untuk nasinya,
kami memilih untuk menanak sendiri.
Tentunya, keadaan tersebut bertolak
belakang dengan di kampung halaman saat puasa tiba, karena suasa semacam itu
belum bisa saya temukan. Suasana ramai tidak terjadi pada saat menjelang bedhug
maghrib, melainkan ketika malam datang. Keramaian itu tak lain dari suara Adzan
maghrib dari surau nan jauh disana lalu semakin keras saat adzan sudah
sampai di musholah kampung yang lumayan dekat dengan rumah. Disusul, waktu
menjelang tarawih dan setelah tarawih, karena lantunan ayat-ayat Al-Qur'an terdengar.
Ketika di rumah, meskipun tanpa
ngabuburit atau mencari takjil keluar, tetap bisa menjalankan ibadah puasa
dengan lancar. Malah, jika puasa di kampung halaman, waktu terasa berlalu
dengan sangat cepat, karena banyak aktivitas yang harus dikerjakan. Behug
maghrib-pun akan tiba dengan sendirinya, tanpa harus menunggu. Heee, meskipun
ditunggu kan kalau belum waktunya Adzan, ya tetap belum bisa berbuka.
Orang-orang di rumah, begitu juga
kebanyakan orang di desaku, lebih banyak menghabiskan waktu kesehariannya di ladang
atau di kebun, istilah kerenya close to
nature he he. Sesekali saya juga ikut, kalau pekerjaan rumah sudah selesai saya
kerjakan, seperti mencuci piring, menyapu, dll. Banyak kegiatan yang dilakukan di kebun dan
waktu bulan puasa seakan-akan kebun menjadi tempat istimewa waktu bulan puasa.
Sepertinya sudah menjadi mangsanya saat bulan puasa, tanaman Cengkeh bisa
dipanen. Hasil panen dari tumbuhan yang satu ini memang salah satu panen yang
ditunggu-tunggu. Harganya yang spesial dibandingkan hasil panen seperti padi,
remah-rempah, sayuran, dll, membuat waktu panen Cengkeh tiba menjadi saat yang special,
dan kebun adalah tempat yang paling dirindukan. Pokonya Ramadhan semakin
semarak saja bagi para petani Cengkeh. Sepertinya begitu gambaranya.
Kadang orang tua saya, pagi-pagi sekali
sudah meninggalkan rumah untuk pergi ke kebun dan pulang waktu sholat dhuhur
tiba. Untuk sore harinya, pergi ke ladang yang berbeda, yaitu sawah, karena
akan mencari rumput untuk para kambing dan pulang waktu Sholat ‘Asar. Sehabis ‘Asar,
untuk menunggu bedug maghrib, aktivitas yang dilakukan adalah petil Cengkeh. Karena dari kebun,
Cengkeh dipanen masih bersama batangnya (gagang),
jadi harus di petil untuk memisahkan
antara gagang, daun, dan buahnya.
Duduk melingkar, bercengkerama sana-sini, sambil menimati hidangan cengkeh yang ada di hadapan, tak kalah asyiknya sebagai pengganti ngabuburit untuk menunggu bedug maghrib.
Kalau di rumah, saya dan adik saya ketika sore hari lebih
sering diminta untuk uthek di dapur, mempersiapkan hidangan berbuka.
Membatu petil Cengkeh biasanya
sehabis Sholat Tarawih atau selepas sahur. Tidak ada istilah membeli takjil di
kampung halaman, karena sama sekali tidak ada pasar takjil yang buka, jadi
harus masak. Untuk membeli keperluannya, pergi ke toko kelontong yang ada di
dekat rumah, namun tidak lepas dari bahan-bahan yang diambil dari kebun dan
lebih sering memasak dari hasil kebun, seperti sayur bayam, daun singkong,
sayur tewel (nangka muda), dan masih
banyak lagi.
Tentu saja puasa di kampung halaman
jauh lebih nikmat, karena bisa berbuka bersama dengan keluarga.
Close to nature..ha ha