Aku pernah mengantar
temanku untuk mencari toko sepeda. Ia ingin membeli sepeda baru. Akhirnya, kami
temukan toko sepeda di dekat pasar. Itu satu-satunya toko sepeda yang kami
temukan. Sebenarnya ada di toko sebelahnya, namun waktu itu sudah tutup.
Kami masih
tanya-tanya dulu. Bosnya yang melayani. Kami bertanya-tanya mulai dari harga
hingga kelebihan dan kelemahan sepeda. Dengan keramahannya, ia bersedia
memberikan penjelasan dengan detail meskipun belum membelinya.
Beberapa
hari kemudian, kami mendatangi toko sepeda itu lagi. Tapi, kami mampir dulu di
toko sepeda sebelah yang berada disebelahnya. Disitu terlihat koleksinya lebih
banyak dan komplit, dibandingkan toko sepeda yang pernah kami datangi sebelumnya.
Ternyata disitu memang khusus penjual sepeda. Berbeda dengan toko di dekatnya,
yang di samping menjual sepeda, juga menjual bebagai macam barang elektonik.
Rencana
masih ingin memilih dan bertanya-tanya dulu. Namun, ternyata kami datang di
waktu yang tidak tepat. Waktu itu ada pembeli yang juga sedang memilih sepeda
juga. Seorang karyawan melayaninya. Kami menunggu giliran, tidak enak jika
mengganggu pembicaraan antara seorang karyawan dan pembeli itu.
Setelah
selesai melayani pembeli tersebut, karyawan di toko itu menanyai kami.
"Masih mau tanya-tanya atau langsung beli,
Mbak?" Tanyanya
"Lihat-lihat dulu, Pak?" Jawab
temanku
Dengan nada
yang kurang berkenan di hati, si karyawan tidak membolehkan kami untuk
melihat-lihat atau tanya-tanya dulu, karena toko keburu ditutup. Ia tidak
memberikan kesempatan sedikit pun waktu untuk melayani kami. Kukira dua menit
atau tiga menit bukanlah waktu yang lama untuk sekedar bertanya keperluan kami
dengan nada yang sedikit ramah. Parahnya lagi, ketika kami sedang berada di
dalam toko, lampunya dimatikan. Aku sedikit jengkel. Ternyata, temanku juga
merasakan hal yang sama. Akhirnya kami keluar dengan rasa malu dan kecewa.
Lalu, kami
menuju toko sepeda di sebelahnya. Meskipun koleksinya sedikit, namun berkat
pelayanannya yang ramah, kami berniat membeli disitu. Cukup lama disitu, karena
harus memilih dan tanwar menawar hingga ketemu harga yang pas dengan kantong.
Namun, si penjual tetap melayani dengan sepenuh hati, tanpa merasa jengkel
sedikit pun.
Waktu
kuliah, aku pernah punya pengalaman bekerja di warung makan, meskipun hanya
bertahan dua bulan saja. Setiap hari selalu ramai. Karakteristik pembeli
berbeda-beda. Namun, bagaimana pun mereka, pelayan tetap dituntut untuk
memperlakukannya dengan ramah bak raja. Jadi, aku selalu berusaha melayani
pembeli dengan hati-hati, meskipun sering dibuat jengkel.
Ungkapan
"pembeli adalah raja" kukira ada pentingnya, karena berkaitan dengan
kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar