Beberapa
waktu yang lalu seorang temanku pernah bercerita tentang dirinya yang pada
waktu kecil sering dipaksa minum jamu pahit. Katanya merasa ada tanduk yang
keluar dari kepalanya ketika dipaksa minum jamu pahit. Itulah gambaran yang ia
ceritakan saat dipaksa minum jamu yang rasanya sangat pahit dan baunya tidak
enak itu. Lebih sering jamu yang ia minum adalah ramuan temulawak yang salah
satunya bisa bermanfaat untuk menambah nafsu
makannya.
Menyimak
cerita temanku itu, saya jadi ingin sedikit mengisahkan tentang masa kecilku
yang juga cukup akrab dengan jamu pahit ini. Selain rasanya pahit, memang
baunya sangat tidak enak. Simbok biasanya membuatkanku jamu pahit yang murni
tanpa campuran gula. Temulawak dan lempuyang adalah bahan dasar yang biasanya
dipakai simbok untuk membuatkan ramuan jamu pahit untukku.
Selain untuk
memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh, minum jamu juga dipakai untuk
menghukumku. Saya sering dihukum dengan minum jamu pahit ini. Saat saya nakal
atau tidak nurut, maka siap-siap saja dipaksa minum jamu pahit agar “kapok” –
dalam Bahasa Jawa.
Sebenarnya
bukan minum jamu ya istilahnya, karena jamu tidak bisa saya minum seperti
halnya teh atau susu yang tidak dipaksapun saya bersedia meminumnya. Namun
untuk meminum jamu ini memang perlu drama dulu, karena harus dipaksa minumnya.
Sesekali kalau tahu simbok membuat ramuan jamu, saya sembunyi atau lari.
“Dicekoki”,
begitulah julukan yang dipakai untuk ritual minum jamu ini. Jadi saya harus
ditaruh dipangkuan simbok terlebih dahulu. Perlahan saya dibaringkan di
pangkuannya, dipaksa membuka mulut, dan ramuan jamupun siap melayang. Agar
lebih praktis biasanya simbok menaruh parutan tamulawak atau lempuyang itu
dalam kain.
Tangisankupun
mulai merekah saat jamu mulai dipaksakan masuk ke mulut, karena rasa dan baunya
yang tidak bersahabat. Semakin keras menangisnya, tentu malah semakin mudah
jamu itu melayang ke mulut. Entah pada umur berapa saya tidak lagi dipaksa
minum jamu cekok ini.
Ketika saya
masih kecil di kebun pekarangan rumah memang masih sangat lebat dengan jenis
tanaman “empon-empon” ini, temulawak dan lempuyang adalah salah duanya. Sengaja
simbok menanamnya karena untuk dipanen setiap beberapa bulan sekali, lalu
dijual ke pasar dan juga untuk jamu masa kecilku. Sekarang yang masih tersisa
hanya jahe, kunyit, lengkuas, dan kunci. Temulawak dan lempuyangnya sudah
musnah.
Itulah
sedikit ceritaku tentang jamu cekok, apakah kalian juga pernah merasakannya?
*Dari catatan FB (Pare,
08/01/2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar