The great Grandma
Oleh:
Eka Sutarmi
Nenekku
memang bukan satu-satunya orang yang
menginspirasi di dalam keluarga saya, tanpa terkecuali Ibu, Bapak, Kakek, Paman,
Bibi, dan Adhik pun juga menjadi tokoh inspirator
dalam hidup saya. Merekalah orang-orang hebat yang paling berperan dalam hidup
saya, cinta sejati yang ada dalam diri saya. Tulisan yang bertema “Nenekku
Inspirasiku” muncul di benak saya ketika saya ingat dengan cerita perjalan
hidup nenek saya yang berliku-liku, tetapi
punya keinginan kuat untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Nenek
memang orang yang tidak berpendidikan, bahkan ia tidak pernah merasakan duduk
bangku sekolah Tetapi dari pengalaman hidupnya itu, ia malah memiliki tekat
yang kuat agar anak, cucunya bisa sekolah tinggi dan bisa menjadi orang yang sukses.
Nenek saya adalah sosok yang ulet, pemberani, dan bekerja
keras. Ia lahir pada tanggal 09 September 1959 di tengah-tengah keluarga yang
bisa dibilang banyak, ia anak ketiga dari sebelas bersaudara. Dibilang bekerja
keras, karena pada saat masih anak-anak, sekitar usia 7 tahun ia sudah di
percaya oleh orang tuanya untuk mengurusi adik-adiknya, memasak, menggembala
kambing, dan juga merawat simbah-nya yang sudah tua. Nenek saya harus bisa
membagi waktunya untuk menjalankan tugas-tugasnya tersebut. Semakin ia
bertambah besar, tanggung jawab yang diberikan pun juga semakin besar. Adhiknya
yang semakin tumbuh besar, dan tak ketinggalan yang bayi juga makin bertambah….yaa
maklum kata simbah saya jaman dulu belum ada KB. Untuk menjalani kehidupan pada
saat itu tidak semudah yang kita alami saat ini, banyak yang serba instan, Untuk
makan saja satu keluarga saja nenek saya harus menumbuk singkong sebanyak satu
sampai dua sak perhari. Nasi putih pada saat itu masih jarang, jadi yang dijadikan
makan pokok yaitu nasi thiwul (nasi yang terbuat dari singkong). Selain itu, ia
juga harus membantu ibunya untuk menjual barang dagangan, seperti kelapa,
keropak, kunyit, jahe ke pasar. Perjalanan jauh dan beban berat yang di
gendongnya seringkali membuatnya mengeluh, tapi apa boleh buat…mau tidak mau,
kuat tidak kuat…ya harus kuat. Perjalanan jauh itu tidak ditempuh dengan
kendaraan, ia harus jalan kaki…berangkat malam, pulang malam. Yang bikin saya
terharu saat di kasih tahu ceritanya yaitu saat ia pulang dari pasar dan ia
sangat ingin membeli buah nangka yang di dasarkan di pinggir jalan, tapi uangnya
tidak mencukupi untuk membeli buah nagka tersebut, sehingga untuk membayar rasa
inginya untuk menikmati buah nangka itu, nenek saya mengambil sisa buah nangka
(dami) yang sudah dibuang. Makanya sampai saat ini nenek saya itu mewanti-wanti
untuk tidak menyisakan makanan apapun, karena ya…mengingat jaman dulu, untuk
beli jajan saja berpikirnya bisa lima sampai seratus kali.
Lain cerita, suatu hari nenek saya
itu diberikan saba’ dan grip (alat tulis-menulis jaman dahulu) oleh seseorang
untuk peralatan sekolah, seingat saya seseorang yang memberinya alat itu
namanya Ibu Masitorini. Uniknya alat tulis menulis itu sekali pakai, jadi jika
ia sudah menuliskan satu lembar penuh, tidak bisa berganti dengan lembar yang
baru lagi melainkan harus menghapusnya dan menulis di lembar yang sama. Karena menurut
ceritanya saba’ itu hanya berupa satu lembar saja, dan bisa dipakai secara
berulang-ulang. Istilahnya tulis-hapus, tulis lagi-hapus lagi, dan seterusnya.
Kalau saat ini masih begitu ATM- nya, bisa-bisa bikin kepala langsung botak ya?
He e e. Ia sangat senang sekali pada
saat itu, ia bisa merasakan bagaimana rasanya belajar. Tapi setelah satu minggu
ia bersekolah, ketahuan sama ayahnya, Mbah Buyut Parmin (alm). Tidak berpikir
panjang, Saba’ dan gripnya langsung di pecah olenya, karena mulai dari awal
memang ayahnya tidak setuju kalau ada anak nya bersekolah…dari anaknya yang
berjumlah sebelas itu, ternyata semuanya tidak ada yang di sekolahkan. Di usia
yang kurang dari 10 tahun, nenek saya sudah disuruh menikah olah kedua orang
tuanya, ia di jodohkan dengan seorang laki-laki ganteng, yang bernama Kakek Paijo.
Beda umur mereka sangatlah jauh. Mau saya ceritakan kenapa menikah dibawah umur
dibolehkan saat itu, saya lupa bagaimana itu bisa terjadi. Yang jelas mereka
berdua telah resmi menjadi suami-istri.
Pernikahan mereka berdua ternyata
tidak sia-sia, kerja keras mereka berdua untuk mencari modal buat rumah tangga
berhasil. Mereka akhirnya berhasil menyekolahkan anak pertamanya hingga ke perguruan
tinggi. Usahanya tersebut tidak semudah yang saya bayangakan, ada cerita yang
lebih menarik dan mengaharukan dibalik kesuksesanya itu. Benar-benar sebuah
pengorbanan yang luar biasa untuk bisa menyekolahkan anak nya pada saat itu, Sangat
jarang orang yang peduli pendidikan di zaman tersebut, karena sebagaian besar
orang lebih memilih untuk mempergunakan uangnya untuk yang lain daripada untuk
pendidikan. Tapi hal ini sangat berbeda dengan pola pikir nenek saya, ia
memiliki prinsip bahwa dengan sekolah mungkin akan membuat hidupnya menjadi
lebih mudah, tidak seperti yang nenek alami saat itu.
Anak pertama dari pasangan
Paijo-Katijah ini namanya kanijan, ia adalah paman saya. Menurut ceritanya, ia
adalah sosok orang yang penurut kepada orang tuanya. Dari masih bayi hingga
anak-anak ia tidak pernah dengan yang namanya minum ASI, atau susu instan, ya..
karena keterbatasan ekonomi, serta gizi, sampai-sampai ASI nya tidak keluar dan
tidak mampu untuk beli susu instan., untuk mengganti gizinya ia hanya di kasih minum
air tajin (air rebusan beras) oleh nenek saya. Yang membikin saya terharu, pada
saat masuk sekolah dasar paman saya itu tbuhnya paling kecil sendiri, dan baju
yang dipakai kebesaran. Teman-temanya sering melepas celanannya dan diejek. Ia
sempat putus asa dan malu untuk kembali bersekolah. Semangat yang tetap
mengalir dari nenek saya terus tercurahkan kepada sang anak tercinta itu agar
ia tetap semangat bersekolah. Memasuki sekolah menengah pertama, ia juga patah
semangat karena banyak teman-temanya yang masuk di sekolah negeri, tapi ia
tidak…ia diterima di salah satu sekolah swasta. Nenek saya masih tetap
memberinya semangat agar ia tidak lagi patah semangat, sekolah swasta tidak
apa-apa, yang penting sungguh-sungguh. Setiap hari nenek saya harus
mengantarkan ke sekolah, mereka harus berangkat jam satu malam agar paginya ia
sudah sampai di sekolah. Itu dengan sabar dilakukan oleh nenek saya. Yang juga
membikin saya heran saat di kasih cerita oleh nenek saya itu, pernah suatu saat
kakek saya menyuruh paman saya untuk berhenti sekolah, entah alasanya apa saya
kurang tahu. Tapi hal itu juga tidak menyurutkan niat nenek saya untuk tetap
berusaha menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Dan akhirnya dengan
perjuangan dan do’a dari seorang ibu, ia berhasil lulus kuliah dan mendapat
pekerjaan yang mapan, meskipun hanya sebagai guru SMA.